Advertorial
Intisari-Online.com – Tokoh TNI AU satu ini nyaris menjadi legenda.
Dialah satu-satunya fighter Indonesia yang pernah menembak jatuh pesawat musuh.
Namun, tidak banyak yang tahu sisi lain dari seorang “Wedono” yang rajin memelihara kumis melintang ini.
Meitie Dewanto (78) hanya tersenyum geli ketika Angkasa menanyakan kepadanya soal panggilan Wedono yang diberikan Bung Karno kepada suaminya, Ign Dewanto.
(Baca juga: Dikenal sebagai yang Terganas di Dunia, Pasukan Gurkha Sebenarnya Orang-Orang Gunung yang Berhati Mulia)
Seingat Meitie, Dewanto sudah memelihara kumisnya setelah mereka menikah pada 18 Juni 1958 di Bandung.
“Kowe jane dadi wedono,” kenang Meitie menirukan ucapan Bung Karno.
Dalam catatan Angkasa, seperti dituturkan Marsdya (Pur) Omar Dhani, peristiwa ini bermula saat ia mengajak Komodor Udara (Marsekal Pertama) Ign Dewanto menemui Bung Karno yang baru saja menjabat Deputi Menteri/Pangau Urusan Operasi (diangkat 1 Juli 1965) merangkap Direktur Intelijen menggantikan Marsda Sri Mulyono.
Presiden Soekarno menjamu mereka di Istana Negara. Dengan gayanya yang blak-blakan, Bung Karno langsung berkomentar saat melihat Dewanto. “Rupamu kok seperti wedono di Jawa Timur sana.”
Bung Karno sepertinya geli melihat kumis Dewanto yang tebal, dipelintir hingga mencuat ke atas.
Meitie yang tinggal di Jalan Setiabudi, Bandung dan kuliah di Fakultas Kedokteran ITB, mengenal Dewanto dalam sebuah acara ulang tahun yang digelar Santoso (anggota AURI) yang menikah dengan wanita Belanda, Tossy.
Meitie mengaku cukup dekat dengan istri Santoso karena bisa Bahasa Belanda. Namun tidak mudah bagi sang ibu melepas Meitie pergi malam-malam jika tidak ada yang menjemputnya. Lalu datanglah Dewanto bersama Gunadi menjemput.
Perkenalan malam itu berlanjut dengan hubungan asmara selama dua tahun, sebelum akhirnya mereka menikah. Karena pernikahan ini, Meitie memilih berhenti dari kuliahnya di ITB yang sudah semester dua.
(Baca juga: Kisah Paranormal ‘Pengambil’ Harta Karun: Perang Batin Jika Harta Itu Tidak Boleh Diambil oleh Si Penunggu)
Setahun kemudian lahir anak pertama pasangan ini yang diberi nama Gina Dewanto, yang kemudian disusul I. Totok Dewanta, A. Nita de Britto, I. Karbol Dewanta, dan I. Oscar Dewanta. Dua anak terakhir merupakan kembar.
Mata Meitie menerawang, seperti berusaha mengumpulkan remah-remah kenangannya bersama laki-laki kelahiran Kalasan, Yogyakarta, 9 Agustus 1929 dari pasangan penganut Katolik yang taat, M. Marjahardjana dan Theresia Sutijem.
“Setiap kali datang ke Bandung, dia selalu terbang rendah di atas rumah kami dan membuat loop, orang-orang sudah tahu itu pasti boy friend Meitie,” ujarnya.
Menurut Meitie, kalau tidak pakai Mustang ya pakai Harvard. Bahkan pernah Dewanto terbang di antara kawat listrik di daerah Lembang, yang kemudian ditegur Meitie yang khawatir karena dinilainya terlalu berbahaya.
Meitie yang pemberani dan suka tantangan ini, malah pernah joy flight bersama pesawat jet pertama TNI AU, DH-115 Vampire yang diterbangkan sendiri oleh Dewanto di langit Jakarta.
Dewanto yang tahu Meitie pemberani, membuat manuver inverted (pesawat terbalik dengan Bumi di bawah kokpit) dengan halus. Lalu dia bertanya kepada sang istri. “Coba tebak, Jakarta ada di mana?”
Meitie dengan enteng menjawab, ya di bawah, sambil menunjukkan jarinya ke “bawah”, tanpa sadar bahwa arah telunjuknya adalah ke langit. Setelah dijelaskan Dewanto baru dia sadar bahwa pesawat dalam posisi inverted.
I got you
Persis sebulan sebelum menikah, 18 Mei 1958, Kapten Ign Dewanto menerbangkan pemburu P-51 Mustang untuk menyerang pangkalan udara Aurev (Angkatan Udara Revolusioner) milik Permesta di Sulawesi Utara.
Hanya beberapa saat sebelum take off menuju Manado, sebuah berita memaksanya membatalkan serangan ke Manado dan harus mengarahkan pesawat ke Ambon.
Sebuah pembom B-26 Invader mengamuk di atas Kota Ambon memuntahkan sejumlah bom dan meninggalkan kobaran api di mana-mana. Perintah pun berubah, Dewanto harus mencari pesawat biadab itu.
Ia berputar sejenak sebelum heading to west dan melepas ferry tank untuk menambah kelincahan. Mustang dibawanya merendah sebelum akhirnya melihat sekelebat B-26. Sebuah kapal perang KRI Sawega terlihat di kejauhan, yang pasti jadi incaran B-26.
Dewanto menambah kecepatan dan mendapat posisi terbaik di belakang incarannya. Tanpa ragu ia lepaskan roket, namun semua luput. Tanpa mau kehilangan sedetikpun, proyektil kaliber 12,7mm melesat dari Mustang, dan kali ini tally ho, disusul kepulan asap dari ekor B-26.
Dua parasut mengembang dari pesawat yang jatuh di laut. Prajurit KKO yang berada di atas Sawega segera turun dan mengejar dengan perahu karet. Mereka menemukan kedua orang itu, yang setelah memeriksa identitasnya diketahui berkebangsaan Amerika dengan nama Allan Lawrence Pope.
Seorang lagi, berdasarkan dokumen yang dia bawa, bernama Pedro kelahiran Davao, Filipina, 1930, yang setelah diinterogasi ternyata Harry Rantung, kopral AURI di Pangkalan Morotai yang bergabung dengan Permesta.
Meitie tidak tahu apa yang terjadi di Ambon, karena memang Dewanto tidak pernah menceritakan apapun yang dia lakukan terkait tugasnya di AURI. Yang dia tahu hanya, calon suaminya ditugaskan ke Ambon dalam rangka pengejaran kelompok Permesta.
Sampai kemudian sudah tidur seranjang pun, Dewanto tidak pernah menceritakan apa yang sudah terjadi di atas Ambon. Meitie hanya mengikuti dan mendoakan keselamatan untuk suaminya yang menjadi saksi dalam persidangan Allan Pope di Jakarta.
Ia dilarang Dewanto menghadiri persidangan.
Sampai pada suatu hari, Dewanto pun buka pembicaraan kepada istrinya yang diakuinya tidak pernah diucapkannya selama persidangan Pope. Memang Pope bilang hanya Dewanto yang menembaknya.
Kepada Meitie, Dewanto menceritakan bahwa sebagai fighter ia harus mencari posisi di belakang agar bisa menembak dengan baik. “Saat tembakan terakhir, ia bilang I got you (kena kamu), ucapan ini yang tidak pernah dia sampaikan selama di persidangan. Dia tidak mau terkesan sombong dan tidak mau dianggap paling hebat dalam misi itu,” beber Meitie.
Meski mendukung sang suami, Meitie pun tidak pernah mengumbar cerita ini kepada siapapun, terutama soal perkataan I got you. Dewanto di mata Meitie memang sosok low profile, humble namun berdisiplin tinggi.
Dari crash site pesawat B-26, sejumlah barang bukti diambil dan di antaranya parasut, dihadirkan selama persidangan. Setelah persidangan selesai dan Pope dipulangkan ke Amerika, barang bukti ini dibagi di antara ALRI dan AURI.
Menurut Meitie yang sudah solo terbang layang, ban pesawat diambil ALRI sedangkan AURI kebagian parasut yang disimpan di museum TNI AU di Yogyakarta.
Sejak lama, ibu dan kelima anak-anaknya ini sudah melihat sebuah kursi besi asing di rumah mereka baik di Yogya maupun Jakarta. Ke mana sang bapak pindah, kursi itu selalu dibawa.
Sampai ketika Dewanto ditugaskan sebagai Atase Udara di Moskwa (1966) menggantikan Rusmin Nurjadin, kursi itupun akhirnya dititipkan di rumah orang tua Meitie di Yogya termasuk foto-foto Dewanto yang kemudian hilang dicuri orang.
Bagaimana ceritanya kursi yang ternyata berasal dari pembom B-26 Allan Pope ini sampai jatuh ke tangan Dewanto, Meitie tidak tahu pasti. Bagaimana caranya Dewanto bisa memperoleh kursi itu, atau kenapa kursi itu tidak dihadirkan dalam persidangan, hanya Dewanto yang bisa menjawabnya.
“Setiap kali ke Yogya, kami selalu lihat kursi itu namun tidak terpikir bahwa itu it’s government own. Sejak anak-anak mulai besar, saudara saya yang pensiunan kolonel AL mengusulkan supaya kursi itu diserahkan saja ke TNI AU dan ditaruh di museum supaya memberikan semangat kepada penerbang muda dan generasi muda yang tertarik kepada sejarah TNI AU.”
Atas dasar itulah, Meitie menyerahkan kursi yang menyimpan sejarah penuh kebanggaan dari TNI AU dan Dewanto khususnya sebagai penerbang tempur, kepada Kepala Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogayakarta, Kolonel Sus Drs. Sudarno pada 16 September 2015.
Dalam acara sederhana itu, Meitie menyampaikan harapannya semoga kursi yang terkesan tidak berharga ini bisa menjadi bukti sejarah untuk disimak dan dipelajari generasi muda Indonesia.
Tersandung PKI
Hanya setahun Dewanto menjadi Atase Udara di Moskwa, sebelum dipulangkan ke Indonesia dan diberhentikan dengan hormat dari dinas tentara terhitung 31 Maret 1967. Bersama dia turut diberhentikan sejumlah perwira tinggi AURI yang lain.
Dalam persidangan yang dijalaninya, Dewanto hanya bilang bahwa dia hanya menjalankan perintah Panglima Tertinggi.
Peristiwa G30S/PKI memang menyisakan pertanyaan tak berujung hingga hari ini. Hari itu, 1 Oktober 1965, Dewanto membatalkan rencana meresmikan sekolah intelijen udara di Semplak, Bogor.
Kondisi di Ibukota tidak menentu setelah semalam, kelompok bersenjata menculik dan membunuh sejumlah jenderal AD. Esok siangnya, di tengah isu AURI akan menyerang Kostrad, Dewanto memanggil perwira intelijen Kapten (Pnb) Kundimang untuk membawanya terbang dengan Cessna 180 guna memantau Jakarta dari udara.
Di hari yang sama, Dewanto juga berhasil menghentikan kontak tembak di kawasan Pondok Gede antara Yonif 454 Banteng/Raiders dipimpin Kapten Koentjoro dari Jawa Tengah dengan RPKAD dipimpin Mayor Inf CI Santosa.
Hampir saja sebuah oplet berpenumpang penuh yang kebetulan melintas, jadi sasaran tembak kedua pasukan.
Dengan sikapnya yang sabar dibantu Kundimang, akhirnya Dewanto berhasil meredakan ketegangan di antara kedua pasukan berkualifikasi khusus itu. Sarwo Edhie yang meminta Dewanto menemuinya, dengan lapang dada disanggupinya.
Dalam pertemuan itu disampaikan Dewanto bahwa Raiders bersedia move jika ada jaminan dari “rambutan”, sandi RPKAD di lingkungan AURI. Sarwo Edhie menyanggupi dengan mengutus Mayor Gunawan sebagai jaminan.
Koentjoro pun membawa pasukannya bergerak ke arah timur. “Mungkin sejarah akan berbeda jika Dewanto tidak mendamaikan RPKAD dan Banteng Raiders,” ucap Meitie.
Menurut Meitie, Dewanto baru mengizinkan rumahnya dijaga setelah dilakukan pemakaman terhadap Pahlawan Revolusi di Kalibata.
(Ditulis oleh Beny Adrian. Seperti pernah dimuat di Majalah Angkasa edisi Desember 2015)
(Baca juga: Terkenal Sebagai Pasukan Khusus Kelas Dunia, Navy SEAL Ternyata Babak Belur Oleh Viet Cong)