Ignatius Dewanto: Penerbang ‘Edan’ yang Selalu Mendarat dengan Membawa Kabel Listrik

Ade Sulaeman

Penulis

Dewanto memang edan, gila. Mungkin karena dia bukan komandan skadron. Dewanto juga dikenal sembrono. Kalau terbang berani sekali.

Intisari-Online.com – Menjadi anak pertama dari tujuh bersaudara, tentu Dewanto mengalami betul masa-masa sulit di keluarga.

Suasana revolusi menyongsong masa remajanya, menggiring Toto (panggilan Dewanto) bergabung dengan Tentara Pelajar (TP).

Bapaknya yang seorang guru tak kuasa membendung keinginan anak pertamanya memanggul senapan bersama pemuda di “anak-anak Solo”.

Ia bergabung dengan kesatuan Slamet Riyadi.

(Baca juga: Ignatius Dewanto: Satu-satunya Penerbang Indonesia yang Pernah Menembak Jatuh Pesawat Musuh)

Sebagai anggota TP, Dewanto ikut dalam sejumlah misi penyerangan Belanda.

Di antaranya pencegatan konvoi Belanda dari Semarang-Solo di daerah Boyolali.

Di situ Dewanto menunjukkan kenekatannya dengan menyerang konvoi panser Belanda dengan perhitungan yang kurang cermat.

Beruntung anak-anak TP sering mendapat bantuan dari Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) AURI dipimpin OMO (Opsir Muda Oedara) II Wiriadinata yang memiliki senapan mesin kaliber 12,7mm.

Dari enam adiknya, dua di antaranya menyusul berkarierdi ABRI. Adik perempuannya, Bernadet Sutanti, menjadi anggota Wara (Wanita Angkatan Udara) angkatan pertama. Yang laki-laki, I Dewadi, bergabung dengan AL.

Sedianya adiknya yang laki-laki ini akan diikutkannya dalam rombongan 60 kadet AURI yang dikirim ke Transocean Airlines Oakland (TALOA) Academy of Aeronautics di Kalifornia tahun 1950. Namun karena terganjal umur, akhirnya ditolak panitia AURI.

Sebagai istri perwira, Meitie pun selalu menunjukkan sikap positif dan mendukung sepenuhnya karier sang suami di AURI. Ia tak sungkan-sungkan berbaur dengan istri prajurit, bermain voli bersama atau sekadar bercengkrama. Benar-benar melting, lumer sebagai sesama istri prajurit.

Bahkan untuk menunjukkan dirinya istri seorang Dewanto yang penuh disiplin, Meitie pun mengikuti sejumlah kegiatan kemiliteran secara sungguh-sungguh. Ketika di Yogya, ia belajar menerbangkan pesawat terbang layang hingga berhasil solo.

(Baca juga: Dikenal sebagai yang Terganas di Dunia, Pasukan Gurkha Sebenarnya Orang-Orang Gunung yang Berhati Mulia)

Nyaris terjadi insiden ketika pesawatnya terbang terlalu dekat dengan tower ATC Yogya.

Begitu juga ketika Presiden Soekarno “memanggil” istri-istri prajurit untuk bersiap menghadapi mobilisasi umum Ganyang Malaysia tahun 1963, Meitie selalu berada di baris terdepan mengikuti semua rangkaian pelatihan militer yang diberikan.

“Itu bukan propaganda, kami benar-benar berlatih selama beberapa bulan di Halim, termasuk menembak,” ujar Meitie.

Selain tentunya latihan baris berbaris, juga diberikan latihan mengendarai mobil-mobil lapangan termasuk mobil ambulan, serta melipat parasut.

Ketika itu ia sudah menjadi Ketua PIA Adrya Garini menggantikan Ibu Omar Dhani, meski suaminya bukan KSAU. Kenapa dirinya, Meitie tidak tahu, mungkin ada dasar kompetensinya. Karena jabatan Ketua PIA itulah, Meitie ikut dalam rombongan menggunakan kapal ke Selat Malaka untuk mengantarkan bahan makanan kepada sukarelawan di sana.

Kompi ini ikut defile di depan Bung Karno pada upacara HUT ABRI 1963 di Senayan. Meitie yang menjadi komandan kompi melihat jelas senyum lebar Bung Karno sambil menepuki ibu-ibu PIA yang melintas di depannya.

“Karena istri-istri AURI terkenal cantik-cantik,” ucap kelahiran Solo, 22 Februari 1936 ini tersipu.

Dewanto dekat dengan semua teman-temannya sesama alumni TALOA, tidak ada yang spesial di antara mereka. Anehnya, diakui Meitie, suaminya justru dekat dengan mantan “musuhnya” Mayor (Pur) Petit Muharto.

Penerbang Dakota ini membelot ke Permesta saat masa konflik. “Yang spesial itu Petit. Petit pernah bilang, aku disuruh terbang nembak wong edan, tidak mau aku. Dia hormat sekali kepada Dewanto. Hormat dan takut,” ujar Meitie menegaskan.

Dewanto memang edan, gila, yang di mata Meitie sebenarnya lebih gila dari Leo Wattimena. Mungkin karena dia bukan komandan skadron, penyuka kopyor ini tidak jadi omongan. Menurut Meitie, kedua penerbang ini memang gila.

Tapi dalam ingatannya, Dewanto lebih sembrono. Kalau terbang berani sekali. “Kalau nyekar ke Kalibata, saya selalu berhenti di makam Leo.”

Almarhum Marsma (Pur) Andoko pernah menceritakan kegilaan temannya begini. “Hari itu saya mendarat di Halim. Tak lama kemudian sebuah Mustang mendarat. Kalau cuma mendarat nggak apa-apa, tapi yang bikin saya kaget, di belakang Mustang itu ada kawat listrik nyantol. Saya tanya kru, siapa itu. Pak Dewanto, jawab mereka enteng.” Andoko tidak habis pikir, manuver apa yang sudah dilakukan temannya itu.

“Betapa rendahnya dia terbang,” pikir Andoko. Seseorang lalu nyeletuk, “Biasa Pak, kalau Pak Dewanto pulang latihan pasti bawa kawat listrik.”

Namun Andoko tidak lupa, Dewanto lah yang dipercaya menjadi leader formasi belasan pesawat latih Harvard dalam peringatan Kemerdekaan RI ke-10 di Istana.

Dalam fly past, Harvard yang take off dari Kalijati membentuk formasi RI-10. “Latihannya hanya seminggu,” tutur Andoko yang memimpin kelompok angka 10.

Gugur

Setelah melepaskan status militernya, dalam kegalauannya Dewanto sempat mengisi waktunya dengan menjual kelapa dari Jakarta ke Banten. Dia jalani sekitar tiga bulan. Kemudian ia bergabung dengan perusahaan carter SMAC (Sabang Merauke Raya AC) yang berbasis di Medan.

Born to be a pilot, Dewanto dengan cepat populer di kalangan penerbang SMAC khususnya. Ia pun didaulat menjadi suhu. Sampai hari itu di tahun 1970, pagi-pagi sekali ia sudah menerbangkan Piper PA-23 Aztec dari Payalebar, Singapura ke Medan karena harus membawa pengusaha perkebunan dari Medan ke Cot Girek, Aceh.

Malang baginya, di perjalanan pesawatnya mengalami engine trouble dan jatuh. Proses pencarian yang tidak berujung itu baru menghasilkan delapan tahun kemudian. Presiden Soeharto sendiri memerintahkan untuk kapanpun ditemukan, segera ambil jenazahnya.

Dari reruntuhan bangkai pesawat dan melihat posisi kerangkanya yang beberapa meter dari pesawat, Dewanto dipastikan masih hidup saat jatuh. Jenazahnya mudah dikenali, karena jam tangan berlambang AURI masih melekat di tangannya.

Ketika Dewanto dinyatakan hilang, Meitie langsung terbang dari Jakarta ke Medan. Ia menginap di kediaman Panglima Kodau IV, Sutoyo. Hampir setiap hari ia ikut tim SAR dari udara. Dalam keputusasaannya, ibunda Meitie bahkan sampai terbang ke Belanda dan Jerman menemui orang pintar untuk bertanya.

Dalam kondisi seperti itulah setelah misi SAR dihentikan, Meitie mengaku jatuh ke dalam situasi mental terburuk yang pernah dialaminya. Dua tahun ia mengurung diri di rumah, tidak pernah ke gereja karena marah kepada Tuhan, dan menitipkan anak-anaknya kepada adik-adiknya.

Berbagai upaya perenungan, puasa, atau mati geni dilakukannya, berharap sang suami ditemukan.

Teman-teman Dewanto sesama alumni TALOA terus memberikan dorongan semangat. Mereka bilang kepada Meitie, “Toto itu orangnya keras dan disiplin serta sayang sekali kepada keluarganya. Jadi kalaupun kaki dan tangannya hilang, dia akan kembali pulang dan bukannya menyembunyikan diri.”

Setelah berkonsultasi dengan teman-teman TALOA dan seizin anak-anaknya, tahun 1974, Meitie menikah lagi dengan pria Amerika bernama Martin Wilson. Ia waktu itu menjadi petinggi perusahaan kontruksi raksasa Bechtel dari Amerika yang mendapat proyek pembangunan sejumlah kilang minyak dan gas di Indonesia.

Tahun 1993, Meitie diboyong ke Amerika dan tinggal di Arizona hingga sekarang. Wilson meninggal karena sakit tahun 2006.

Dewanto yang mengantongi dua Bintang Sakti, dikenal Meitie sumeh, penolong, mudah akrab, tegas, selektif terhadap pemberian, kalau berbicara logat Jawa-nya kental namun tidak terlihat saat berbahasa Inggris, dan mengutamakan pengabdiannya.

Selektif terhadap pemberian, dibuktikannya ketika menolak jatah beras dan daging dari Mabes AU untuknya.

Meski sudah ditinggalkan Dewanto 45 tahun yang lalu dan hanya menikmati kebersamaan selama 12 tahun, ingatan Meitie tidak pernah luntur terhadap Dewanto. Air mukanya tidak pernah sedih, menunjukkan ketegaran dan kekuatan batinnya.

Untuk mengisi hari-harinya di Amerika, Meitie berbagi kebaikan dengan mengajarkan terapi tenaga dalam Kalimasada yang dipelajarinya langsung dari Asep Herwadi sejak 1991. “Murid saya kalau ditotal sudah 200,” kata Meitie tanpa bermaksud menyombongkan diri.

Di antara kota-kota yang dikunjunginya untuk Kalimasada adalah Washington, Houston, Texas, Phoenix, Arizona, dan Tucson.

(Ditulis oleh Beny Adrian. Seperti pernah dimuat di Majalah Angkasa edisi Desember 2015)

(Baca juga: Yang Konyol-Konyol di Perang Dunia II: Nazi Gelar Pesawat Palsu dari Kayu dan Sekutu Mengebomnya Dengan Bom Kayu)

Artikel Terkait