Find Us On Social Media :

'Naik Kelas', Beginilah Nasib Mujur Gerabah Bayat Indonesia yang Berhasil Raih Penghargaan UNESCO

By Tatik Ariyani, Jumat, 9 Maret 2018 | 09:00 WIB

(Baca juga: )

Mengangkat gerabah Bayat

Mahasiswa semester VIII itu menambahkan, potensi Bayat tidak hanya terletak pada jenis tanahnya, tetapi juga cara pengolahan yang unik. Warga biasa menggunakan alat putaran dengan teknik miring. Teknik yang berbeda dengan pembuatan gerabah pada umumnya.

Konon teknik ini sudah ada sejak nenek moyang. Sidik ingin teknik putaran miring tetap bertahan di tengah perkembangan gerabah atau keramik era ini.

"Warga di Bayat biasa pakai putaran miring, kalau biasanya kan datar. Mungkin zaman dulu pembuat gerabah adalah para wanita yang pakai kain jarik untuk rok. Jadi kedua kakinya tidak bisa terbuka leluasa seperti kalau pakai celana," ucap Sidik.

(Baca juga: )

Menurut dia, teknik ini sejatinya menjadi daya tarik wisatawan untuk datang ke Bayat. Dia pun bermimpi, jika lulus kuliah nanti, akan kembali ke kampung halamannya itu untuk mengembangkan gerabah agar mempunyai nilai seni dan nilai jual yang tinggi.

Sejauh ini Sidik sudah menghasilkan ratusan karya keramik, selain dekoratif dan instalasi, Sidik juga mulai menerima pesanan peralatan makan (table ware), seperti mangkok, cangkir, dan gelas.

Sebelumnya Sidik sudah kerap mengikuti berbagai pameran fine art dan menjadi pemateri workshop.

"Saya memproduksi table ware, kadang-kadang fine art, dan akhir-akhir ini banyak mengerjakan order proyek limited edition, biasanya untuk kebutuhan kafe atau personal. Semua bahan glasir food grade, kecuali timbal, hanya untuk fine art," imbuhnya.

(Baca juga: )

Sidik menjual produknya dengan harga paling murah Rp 30.000 per buah. Meski pemasaran baru sebatas melalui media sosial, pesanan sudah datang dari berbagai daerah, seperti Bali dan Belanda.

Penghargaan UNESCO

Sidik bersyukur masuk kriteria UNESCO untuk mendapatkan pendampingan sebagai salah satu pemuda kreatif. Setelah menerima penghargaan itu, dia banyak dibantu dalam hal pengelolaan atau manajemen bisnis.

Terlebih lagi, sejauh ini Sidik masih terkendala dengan pemakaian tungku yang masih eksperimen sehingga kurang maksimal. Hasil gerabah akan lebih bagus jika menggunakan tungku konvensional, tetapi harganya mahal, sekitar Rp 20 juta per unit.

(Baca juga: )

(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "")