Sebelum Ada Listrik, Lilin Seperti Inilah yang Memberikan Penerangan pada Zaman Dulu

Mentari DP

Penulis

Lilin biasanya terbuat dari malam, lemak padat, atau materi lain yang terbakar secara lambat.

Intisari-Online.com – Sebelum penerangan listrik umum digunakan pada tahun 1900-an, lilin banyak dimanfaatkan sebagai sumber penerangan buatan.

Namun, semakin maju sumber penerangan, produksi lilin tidak juga merosot. Sejak awal abad ini produksi lilin meningkat.

Selain sebagai cadangan akibat lampu listrik yang suka byar-pet, lilin sering digunakan sebagai pelengkap dekorasi interior dan dalam upacara tertentu.

Lilin biasanya terbuat dari malam, lemak padat, atau materi lain yang terbakar secara lambat.

(Baca juga:Terilhami dari Lampu Lalu Lintas, Inilah Sejarah Kartu Merah yang Bikin Pemain Favorit Anda Diusir dari Lapangan)

(Baca juga:Sejarah Kondom, Salah Satunya Kondom Karet Setebal Ban Dalam Sepeda)

Saat terbakar, panas api akan mencairkan lilin dekat pangkal sumbu. Lilin leleh mengalir ke atas sebagai akibat tekanan kapiler.

Lilin termasuk temuan paling awal dari dunia primitif. Ini didukung dengan penemuan tempat lilin di Mesir dan P. Kreta, dari tahun 3000 SM.

Namun catatan terawal yang jelas-jelas menggambarkan lilin baru muncul pada abad I.

Politisi Romawi yang hidup di sekitar abad I dan II, Pliny The Younger, menguraikan tentang benang rami berlapis ter dan lilin alang-alang (batang alang-alang dikupas, lalu dicelup malam).

Meski tidak diketahui asal-usulnya, masyarakat Mesir kuno jelas telah mengenal lilin, entah lilin langsing dari bahan berserat yang berlapiskan malam atau lemak, lilin alang-alang, atau pun lilin yang mirip dengan lilin modern.

Kemudian batang alang-alang digantikan dengan sumbu serat yang dicelup ke dalam lemak cair, didinginkan, dan kembali dicelup sampai ketebalan tertentu.

Diduga, lilin langsing itulah nenek moyang lilin batangan modern.

Di abad pertengahan, lilin lemak luas dipakai masyarakat Eropa. Namun harganya yang lebih mahal - akibat cara pembuatan yang lebih sulit – dibandingkan dengan lampu lemak, menjadikan lilin identik dengan kemewahan.

(Baca juga:Vasili Blokhin, Eksekutor 'Paling Produktif' dalam Sejarah, Hukum Mati 300 Nyawa Setiap Malam)

Selanjutnya lemak bersumbu digantikan dengan lilin dari malam lebah yang beraroma khas, tanpa disertai bau lemak.

Pada abad XIX ahli kimia Prancis Michel-Eugene Chevreul menancapkan tonggak bersejarah dalam proses pembuatan lilin.

la berhasil memisahkan asam lemak dari gliserin lemak sehingga menghasilkan asam stearat, bahan penting untuk menghasilkan lilin bermutu baik.

Stearat bersama dua bahan yang ditemukan selanjutnya, yaitu spermaceti dan malam parafin selanjutnya menjadi bahan baku utama lilin.

Spermaceti adalah hasil kristalisasi lemak ikan paus. Kelebihan spermaceti adalah tidak menimbulkan bau pedas, selain menghasilkan batang lilin yang tidak mudah lembek dan bengkok di musim panas.

Lilin spermaceti membuka tahap baru dari sejarah lilin: mutu dengan standar yang jelas. Jenis lilin ini dibuat sedemikian rupa, sehingga dengan berat ± 75g, kecepatan pembakarannya 120 grain (7,776 g) per jam.

Jadi, satu lilin baru habis terbakar setelah menyala selama sekitar 10 jam.

(Baca juga:Sejarah Kancing: Dari Hanya Sebagai Aksesoris Hingga Terbentuk Asosiasi Masyarakat Kancing)

Standar ini kemudian ditetapkan sebagai satu kandela, satuan ukuran intensitas sumber penerangan menurut standar internasional.

Makin tinggi intensitas cahaya makin terang sinar yang dihasilkannya.

Sekitar pertengahan abad XIX malam parafin berhasil dikristalkan dari minyak tanah menjadi bahan utama malam.

Karena parafin cenderung lembek dan lentur pada temperatur di bawah titik leburnya, ia memang mesti digabungkan dengan stearat. Bersama stearat, parafin menjadi bahan dasar lilin batangan.

Setelah spermaceti, ditemukan ceresin atau ozokerite, malam mineral hidrokarbon dengan titik didih tinggi sehingga bisa mengeraskan atau memperkuat lemak atau malam lebah yang empuk.

Selama perkembangannya, ada beberapa cara pembuatan lilin.

Mulai dari yang hanya mencelupkan sumbu ke dalam lilin, hingga menggunakan mesin pencetak lilin, yang mulai dikembangkan pada abad XIX.

Mesin itu terdiri atas tanki logam yang dipanaskan kemudian didinginkan berganti-ganti.

Cara kerjanya, mula-mula sumbu disusupkan dari dasar cetakan melalui piston, menembus lilin cair dalam cetakan.

Setelah cetakannya dingin, lilin mengeras, lilin didorong ke luar oleh piston, sumbunya dipotong.

Selain batangan sederhana, kini lilin dapat ditemukan dengan begitu banyak variasi bentuk, warna, ukuran, juga keunikan seperti aroma harum tertentu. (Dari Peibagai sumber/Sht)

(Baca juga:Yang Kamu Lakukan Belum Ada Apa-apanya, Inilah Diet Paling Ekstrem dalam Sejarah)

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 1998)

Artikel Terkait