Penulis
Intisari-Online.com – Saat uang belum ada, yang terjadi adalah barter.
Kemudian nenek moyang kita menyadari bahwa ada benda-benda tertentu yang mudah ditukarkan dengan pelbagai benda atau layanan.
Di Thailand, hampir semua bagian tubuh harimau pernah punya nilai tukar seperti uang.
Di Birma, pernah dikenal "uang" tambur, karena alat musik ini dipandang bernilai tinggi.
(Baca juga: Bukannya Pamer Kekayaan, Orang-orang Super Kaya Ini Justru Sering ‘Pamer’ Kesederhanaan! Tidak Seperti OKB!)
Bahkan mata kail pun pernah berfungsi sebagai uang di Amerika Utara.
Boleh dibilang pelbagai macam benda pernah punya nilai tukar sebagai uang, misalnya gigi anjing atau ikan paus, kerang, teh, lempengan batu, manik-manik, kulit binatang, ternak, kain, garam, benda-benda dari emas, perak atau perunggu.
Diduga koin pertama, buatan tahun 600 SM di Lydia (kini Turki bagian barat), berbentuk biji buncis yang terbuat dari campuran emas dan perak.
Pada permukaannya ada stempel raja sebagai jaminan akan keseragaman nilainya.
(Baca juga: Mengenali Jenis Pasukan Tempur TNI Angkatan Darat Berdasarkan Warna Baret)
Berkat cap tersebut, para penggunanya tidak perlu repot lagi mengecek berat koin untuk menentukan nilainya.
Karena praktis, banyak negara lain ikut membuat dan menggunakan koin sendiri.
Seperti yang dilakukan Yunani dengan tetradrachm-nya yang dikeluarkan tahun 400 SM.
Bagian depan koin itu memuat cap gambar Dewi Athena, sedang di baliknya terpampang gambar burung hantu.
(Baca juga: Cara Cepat Meraba Kepribadian Seseorang, Cukup Lihat Posisi Duduk Kegemarannya)
Sejarawan yakin masyarakat Cina dan India kuno pun secara terpisah telah mengenal dan menggunakan koin.
Bahkan sejak tahun 1100 SM, mereka sudah menggunakan miniatur benda-benda perunggu yang punya nilai tukar sebagai uang.
Diperkirakan, miniatur itulah yang kemudiah berkembang menjadi koin.
Bagaimana dengan uang kertas? Diduga perkembangannya dimulai di Cina tahun 600.
(Baca juga: Punya Dua Istri Muda nan Cantik, Pria ini Ungkap Resep Rahasia Menjaga Keharmonisan)
Pedagang Italia Marcopolo yang berkunjung ke Cina tahun 1200-an sempat kagum melihat bagaimana masyarakat Cina menggunakan uang kertas, bukan koin.
Namun, masyarakat Eropa baru meniru metode uang kertas di tahun 1600-an, ketika banyak bank mengeluarkan bank notes, "nota bank" yang dapat ditukarkan dengan koin emas atau perak yang disimpan di bank. Dalam perkembangannya, bank notes kini berarti "uang kertas" seperti yang kita kenal sekarang.
Lucunya, kartu remi pun pernah dipakai sebagai pengganti uang. Uang-karta ini muncul tahun 1685 di Kanada, saat wilayah tersebut menjadi koloni Prancis.
Pada masa itu gaji tentara Prancis yang bertugas di sana sering datang terlambat, karena harus dikapalkan menyeberangi S. Atlantik.
Karena kelangkaan dana tunai, pemerintah kolonial menggunakan kartu remi sebagai uang dengan cara menandai setiap kartu dengan nilai nominal tertentu yang disahkan dengan tanda tangan gubemur.
Meski cuma kartu, "uang" tersebut sempat beredar selama lebih dari 70 tahun.
Tahun 1800-an, kebanyakan uang kertas yang beredar masih dikeluarkan oleh bank atau perusahaan swasta.
Lalu berangsur-angsur pemerintah dan bank sentral mengambil alih wewenang membuat uang kertas di suatu negara.
Meski kini uang sudah jadi alat tukar yang umum, di beberapa bagian dunia praktik barter masih dilakukan juga, misalnya masyarakat petani di beberapa negara berkembang Afrika, Asia, dan-Amerika Latin.
Alasannya, mereka jarang menerima dana tunai. Tapi jangan kaget, masyarakat negara industri pun pernah terpaksa melakukan hal serupa, jika uang langka atau jatuh nilainya.
Setelah Jerman kalah dalam PD II (1939 - 1945), nilai uangnya anjlok sehingga orang lebih suka melakukan barter. Alat tukar yang saat itu bernilai adalah rokok, kopi, dan gula, yang jumlahnya sangat terbatas. (Dari pelbagai sumber/Sht)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1997)
(Baca juga: Sebelum Bunuh Diri, Hitler Tulis Wasiat: Saya Tidak Sanggup Memikul Tanggung Jawab Perkawinan)