Find Us On Social Media :

Sri Sultan Hamengkubuwana X Bagai Pinang Dibelah Dua dengan Sang Ayah tapi Lebih Lugu dan Antipoligami

By Moh Habib Asyhad, Sabtu, 3 Februari 2018 | 14:30 WIB

Intisari-Online.com – Berlainan dengan ayahnya, yang pada masa kecil sesekali terlibat perkelahian di sekolah, sehingga mendapat hukuman dari guru, HB X digambarkan oleh orang-orang yang mengenalnya dari dekat sebagai seorang yang lugu.

Bekas pengasuhnya mengatakan, ia bukanlah anak yang rewel pada masa kanak-kanak.

RM Soeprapto - suami Siti Kusdilah, adik KRAy, Windyaningrum - masih ingat bahwa HB X dan adiknya, GBPH Hadiwinoto, pada masa kecil sering bermain-main di rumahnya yang tak jauh letaknya dari keraton.

Dalam usianya yang waktu itu sekitar lima tahun, dan belum bersekolah, ia lincah tetapi tidak nakal. Ia senang berlari-lari di halaman rumah dan pendopo bersama sepupunya, umpamanya ketika bermain petak umpet.

(Baca juga: Bukan ‘Kesaktiannya’, Pasukan Tank Belanda Takut pada Sri Sultan Hamengkubuwono IX karena Pendidikannya)

Namun, ia tak pernah melompt-lompat secara berlebihan, apalagi berteriak-teriak atau berkelahi. Tingkah lakunya yang tenang mungkin 'diturunkan' oleh ibunya. Sebab, menurut Soeprapto, sifat ibunya sabar sekali.

Dalam pertemuan bisnis di perusahaah yang dipimpinnya atau dengan perusahaan Iain, umpamanya, biasanya ia dengan sabar mendengarkan pendapat orang lain sebelum ia sendiri berbicara.

Sikap ini sebenarnya mirip dengan pembawaan ayahnya, yang dikenal dengan kebiasaannya yang 'lebih suka diam dan mendengarkan' sebelum mengambil keputusan.

HB X dan HB IX bagaikan  pinang dibelah dua dalam gaya mereka memimpin perusahaan. Keduanya bukanlah orang-orang agresif di bidang bisnis, sehingga lebih cocok sebagai pemberi gagasan dan pengarah, bukan pengelola pelaksana.

Tidak mengherankan jika mereka lebih sering memegang jabatan komisaris daripada direktur.

(Baca juga: Hati-hati, Inilah Tanaman Pembunuh Manusia yang Hidup di Indonesia)

Dunia bisnis rupanya kurang menarik perhatian HB X, walaupun sudah berkecimpung dalam kegiatan ini sejak masa remaja, ketika masih menjadi pelajar. Berulang kali ia berkata bahwa, "Kalau boleh memilih, saya lebih menyukai politik."

Hubungan kawulo — gusti: timbal balik

Ada persamaan lain lagi yang mencolok antara HB IX dengan HB X. Keduanya peka terhadap hubungan-hubungan yang bersifat timbal balik antara gusti (pemimpin) dengan kawulo (rakyat), antara keraton dengan masyarakat — dua kutub yang saling berkaitan erat dan bukan saling berjauhan.

Pidato penobatan Sultan HB X dengan gamblang menekankan hasrat untuk memelihara konstelasi hubungan kawulo - gusti seperti itu.

"Buat apa sebuah tahta dan menjadi sultan, apabila tidak memberi manfaat bagi masyarakat? Jawaban atas pertanyaan, yang senantiasa mengusik hati nurani saya itu, merupakan pertanggungjawaban saya dalam kesadaran berbangsa dan bernegara," kata HBX.

Pada hari-hari menjelang penobatan Sultan HB X, warga Jawa berbondong-bondong mengalir bukan hanya dari desa-desa di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, melainkan juga dari tempat-tempat sampai sejauh Sumatra bagian selatan, di antaranya dari Bengkulu.

(Baca juga: Gunung Kawi si Gunung Hoki, Makam Keturunan Raja Mataram yang Selalu Jadi Tujuan Orang Ngalap Berkah)

Mereka yang tak mempunyai sanak keluarga di dalam kota, sepanjang malam menggelar selimut di pinggir alun-alun yang berdampingan dengan keraton.

Sebagian lagi memadati kamar-kamar, emper-emper dan pendopo Prabeyan, tempat tinggal KGPH Hadikusumo, adik HB X dari ibu yang lain, KR Ay. Pintoko Purnomo. Banyak pula yang hanya kebagian tempat di bawah langit di halaman rumah.

Di pendopo Prabeyan, para tamu dari jauh itu disuguhi tontonan berupa siaran TVRI melalui pesawat televisi berlayar cukup lebar.

Prabeyan, yang letaknya di salah satu tepi kompleks keraton, dalam peristiwa-peristiwa seperti ini dapat menampung sampai tiga ribu orang, menurut Hadikusumo. Di keraton, Hadikusumo kini menjabat lurah pangeran menggantikan Mangkubumi.

Tidak sedikit di antara mereka yang tergontai-gontai memikul dan menjinjing hasil pertanian dan unggas potong sebagai ulu bekti, kiriman sukarela untuk keraton.

Tak ubahnya seperti tetangga yang ingin menyumbang dan ikut menyatakan kegembiraan kepada orang yang sedang punya perhelatan.

(Baca juga: Ritual Seks di Gunung Kemukus: Kata Kuncinya 'Piyambak Mawon, Mas?')

Mereka merupakan bagian dari sekitar sejuta warga yang pada tanggal 8 Maret 1989, sehari setelah penobatan, berjajar berjejalan di tepi jalan-jalan Kota Yogyakarta.

Sore itu selama sekitar tiga jam, HB X mengadakan ktiab sejauh 5 km di seputar keraton, melalui kerumunan massa yang hampir tak dapat ditembus Kyai Garudo Yekso, kereta berkuda yang ditumpanginya.

Jumlah penyambut sebesar itu diperkirakan sama banyaknya dengan para pelawat di dalam kota yang memberikan penghormatan terakhir selama prosesi jenazah HB IX menuju tempat pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri pada tanggal 8 Oktober 1988.

Serba pertama

HB X adalah Sultan Yogya pertama yang dinobatkan pada zaman kemerdekaan. Untuk pertama kali pula seorang raja Mataram bergelar haji, sehingga Budayawan Karkono Partokusumo menyarankan supaya ia bersedia diberi gelar Sultan Haji. Usul itu kemudian didukung oleh kaum ulama Yogyakarta.

Pendidikan tinggi bagi para putra sultan sudah dimulai oleh HB VIII, dengan mengirimkan mereka sampai ke Negeri Belanda.

(Baca juga: Operasi Babilon, Serangan Udara Israel Paling Spektakuler yang Sukses Menghancurkan Reaktor Nuklir Irak)

Tetapi pendidikan tinggi HB IX di sana terputus oleh PD II, sehingga baru sekarang inilah untuk pertama kalinya ada seorang sultan Yogyakarta bergelar sarjana.

Agaknya untuk pertama kali, seorang sultan Yogyakarta telah mengisyaratkan keinginan untuk hanya mempunyai seorang istri. Pada hari penobatannya, ia mengangkat istrinya sebagai garwo prameswari (permaisuri) bergelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.

Kalau saja tradisi tidak merintanginya, ia ingin didampingi istri dalam kirab, tetapi sebagian masyarakat mempercayai bahwa membuat tradisi baru seperti itu hanya akan menimbulkan malapetaka.

Tempat duduk di sebelah sultan di kereta itu dimaksudkan untuk Kanjeng Ratu Kidul, yang dianggap sebagai penjaga Laut Selatan (Samudra Hindia) dan istri setiap sultan Yogyakarta!

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1989)

(Baca juga: Generasi Z Memiliki Karier Lebih Baik dan Sangat Idealis)