Find Us On Social Media :

Sri Sultan Hamengkubuwana X Bagai Pinang Dibelah Dua dengan Sang Ayah tapi Lebih Lugu dan Antipoligami

By Moh Habib Asyhad, Sabtu, 3 Februari 2018 | 14:30 WIB

Ada persamaan lain lagi yang mencolok antara HB IX dengan HB X. Keduanya peka terhadap hubungan-hubungan yang bersifat timbal balik antara gusti (pemimpin) dengan kawulo (rakyat), antara keraton dengan masyarakat — dua kutub yang saling berkaitan erat dan bukan saling berjauhan.

Pidato penobatan Sultan HB X dengan gamblang menekankan hasrat untuk memelihara konstelasi hubungan kawulo - gusti seperti itu.

"Buat apa sebuah tahta dan menjadi sultan, apabila tidak memberi manfaat bagi masyarakat? Jawaban atas pertanyaan, yang senantiasa mengusik hati nurani saya itu, merupakan pertanggungjawaban saya dalam kesadaran berbangsa dan bernegara," kata HBX.

Pada hari-hari menjelang penobatan Sultan HB X, warga Jawa berbondong-bondong mengalir bukan hanya dari desa-desa di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, melainkan juga dari tempat-tempat sampai sejauh Sumatra bagian selatan, di antaranya dari Bengkulu.

(Baca juga: Gunung Kawi si Gunung Hoki, Makam Keturunan Raja Mataram yang Selalu Jadi Tujuan Orang Ngalap Berkah)

Mereka yang tak mempunyai sanak keluarga di dalam kota, sepanjang malam menggelar selimut di pinggir alun-alun yang berdampingan dengan keraton.

Sebagian lagi memadati kamar-kamar, emper-emper dan pendopo Prabeyan, tempat tinggal KGPH Hadikusumo, adik HB X dari ibu yang lain, KR Ay. Pintoko Purnomo. Banyak pula yang hanya kebagian tempat di bawah langit di halaman rumah.

Di pendopo Prabeyan, para tamu dari jauh itu disuguhi tontonan berupa siaran TVRI melalui pesawat televisi berlayar cukup lebar.

Prabeyan, yang letaknya di salah satu tepi kompleks keraton, dalam peristiwa-peristiwa seperti ini dapat menampung sampai tiga ribu orang, menurut Hadikusumo. Di keraton, Hadikusumo kini menjabat lurah pangeran menggantikan Mangkubumi.

Tidak sedikit di antara mereka yang tergontai-gontai memikul dan menjinjing hasil pertanian dan unggas potong sebagai ulu bekti, kiriman sukarela untuk keraton.

Tak ubahnya seperti tetangga yang ingin menyumbang dan ikut menyatakan kegembiraan kepada orang yang sedang punya perhelatan.

(Baca juga: Ritual Seks di Gunung Kemukus: Kata Kuncinya 'Piyambak Mawon, Mas?')