Find Us On Social Media :

‘Seratus Tahun Lagi Pun Belum Tentu Akan Lahir Sebuah Grup Musik Seperti Koes Plus

By Ade Sulaeman, Jumat, 5 Januari 2018 | 12:00 WIB

Intisari-Online.com – Koes Bersaudara merekam lagu- lagu pertama mereka tahun 1962 di studio Irama di Jalan Theresia (sekarang belakang Sarinah) Ja karta, kemudian pindah ke kawasan Cikini, tidak jauh dari rel kereta api.

Menurut Mas Yon, waktu itu mixer yang digunakan berkapasitas empat track.

Skill menyanyi dan keterampilan memainkan alat musik harus prima, karena rekaman dilakukan secara live, seperti sebuah pertunjukan di atas panggung.

Bedanya, kalau salah bisa diulang dari awal.

(Baca juga: Kisah Pilu Marina Chapman: Dibuang ke Hutan, Dirawat Kera, Lalu Dijadikan Budak Seks)

“Pokoknya seru deh waktu itu,” kenang Mas Yon.

“Lagi ada mood isi vokal terpaksa ditunda karena ada yang batuk atau tidak bisa menahan Haaaaci … atau bangkis menjelang pilek.”

Dengan kondisi sistem rekaman seperti itu Kus Bersaudara berhasil merampungkan sejumlah album EP (extended play) yang berisi 8-10 lagu di Irama, sementara tu­juh album Koes Plus dirampung­kan di Dimita Moulding Company, yang studionya berada di Bandengan, Jakarta Kota.

Lagu-lagu yang sangat populer di masa itu kemu­dian melegenda sampai sekarang antara lain Oh Kau Tahu, Telaga Sunji, Pagi jang Indah, Laguku Sendiri, dan salah satu lagu yang diciptakan Mas Tonny setelah dibebaskan dari Penjara Glodok, To the So Called the Guilty.

Koes Bersaudara menjadi Koes Plus (Koeswoyo Plus) tahun 1969 ketika Nomo meninggalkan saudara-saudaranya untuk berkonsen­trasi dalam bisnis.

Sebenarnya tidak pernah ada niat Mas Tonny mendirikan Koes Plus, bahkan ia sangat terpukul ketika terpaksa tidak mengikutsertakan Mas Nomo.

Yang terjadi adalah, ketika sedang berlatih untuk mem­persiapkan lagu-lagu untuk album baru “Dheg Dheg Plas”, seorang teman Mas Nomo berteriak dari luar jendela.

“Ada yang mau jual mobil nih. Barangnya masih bagus. Mau eng­gak?”

(Baca juga: 7 Desa Ini Tersembunyi di Tempat yang Tak Terbayangkan, Salah Satunya Ada di Kawah Gunung Berapi)

Gue lagi latihan. Ntar aje …,” sahut Mas Nomo.

“Nanti diambil orang.”“Iya, sebentar lagi deh ….”

Mas Tonny menghentikan latihan. “Mau dagang atau mau latihan?!” suaranya meninggi.

“Mas Nomo cabut. Aku kasihan ngelihat dia, jadi solider enggak nerusin latihan,” kenang Mas Yok.

Melihat keadaan itu, Mas Tonny ternyata tidak surut, bahkan maju terus dan berusaha mencari penabuh drum dan pemetik bas baru.

Dengan bantuan seorang teman, bertemulah dia dengan Murry, pemain drum band Patas, kemudian sebagai pemain bas direkrut Toto AR, adik gitaris Dara Puspita, Titiek Adji Rachman, dan pemain bas Lies Soetisnowati Adji Rachman.

“Dasar konseptor Koes Plus adalah Mas Tonny, jadi enggak ngaruh. Dheg Dheg Plas meluncur begitu saja dan nyaris tak ada yang tahu bahwa yang memetik bas bukan aku,” sambung Mas Yok.

Koes Plus dikontrak Dimita sampai tahun 1972.

Pada tahun berikutnya grup itu pindah ke Re- public Manufacturing Company Limited yang dikenal dengan sing katan Remaco.

Pemimpin Remaco adalah Eugene Timothy (21 Februari 1938 – 24 Desember 2000) yang akrab dipanggil Om Yujin.

Dari Remaco meluncur hits seperti Diana, Cubit-cubitan, dan metafora untuk menggambarkan kein­dahan dan kesuburan Indonesia, Kolam Susu.

Tidak ketinggalan pula lagu pujaan terhadap negeri, Nusantara, yang diciptakan Tonny sampai beberapa versi.

Tidak hanya itu, Koes Plus juga menghasilkan album aneka corak musik dan tema.

Pop Melayu, pop Jawa, orkestra, pop keroncong yang merupakan amanat dari ayah mereka, Koeswoyo Senior, juga orkestra, pop anak-anak, hard beat, album Natal, kasidahan, bahkan instrumental.

“Menurut saya, seratus tahun lagi belum tentu akan lahir sebuah grup musik seperti Koes Plus” – Eugene Timothy (21 Februari 1938 – 24 Desember 2000).

Dari Remaco pula Koes Plus membuka jalan bagi penyanyi dan band lain untuk meramaikan musik Indonesia.

Panbers, Mercy’s, D’Lloyd, Favorite’s Group, juga penyanyi tunggal semacam Bob Tutupoly, Elvie Sukaesih, dan banyak lagi.

Kelak ketika Nomo Koeswoyo menekuni bisnis rekaman melalui Yukawi bersama Leo Kusi­ma, ia juga melahirkan No Koes, No Bo, Usman Bersaudara, Franky Sahilatua, dan Oma Irama yang meledak dengan lagu Begadang (1973).

Ia juga menggebrak pasar lagu anak-anak dengan menampil­kan putrinya, Chicha, dalam lagu Heli (1976).

(Ditulis oleh Mayong S. Laksono berdasarkan Buku Kisah dari Hati, Koes Plus Tonggak Industri Musik Indonesia. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2014)

(Baca juga: Tak Bisa Diam dan Gemar Lompat-lompat, Itu Pertanda Anak Anda Punya Kecerdasan Kinestetik Tinggi)