Penulis
Intisari-Online.com – Hari Natal selalu memberi kesan mendalam. Apalagi dilewatkan di tepian Danau Tage yang indah, di pedalaman Irian Jaya (kini Papua) dengan hidangan sop kelinci seperti yang dituturkan keluarga Utomo menyambut hari Natal 1991.
Ajakan bekas teman yang kini menjadi pastor untuk merayakan Natal di Irian Jaya sungguh sayang untuk diabaikan begitu saja.
Apalagi Theo, teman saya itu, tinggal di pedalaman Irian Jaya, di tepian Danau Tage yang luar biasa indah. Cocok betul dengan keluarga kami yang sangat mencintai petualangan alam.
Sesudah sejenak bersiap diri, kami mengawali perjalanan dengan menumpang pesawat dari Jakarta menuju Biak, kota di Propinsi Irja yang terkenal dengan taman lautnya.
(Baca juga: ‘Cedrus libani’, Pohon Natal Tulen yang (Nyaris) Hanya Ada di Tanah Palestina dan Lebanon)
Keesokan harinya kami melanjutkan penerbangan ke Nabire sebelum menuju ke Enarotali, kota kecamatan terakhir yang masih bisa ditempuh dengan pesawat udara.
Kota Nabire di Teluk Cenderawasih ini menjadi ibu kota Kabupaten Paniai yang menyuplai kebutuhan pangan ke daerah pedalaman Irian.
Berbagai macam bahan kebutuhan sehari-hari dengan variasi yang cukup lengkap tersedia di kota ini.
Untung saja, selama menunggu keberangkatan, kami mendapat banyak bantuan dari Pastor Paul, teman Theo.
Setelah menunggu beberapa hari di Nabire, kami bisa berangkat ke Enarotali dengan pesawat Cessna yang berpenumpang 12 orang, termasuk di antaranya beberapa ekor babi hidup, ternak kesayangan penduduk Irian.
Lapangan udara mirip lapangan bola
Dari balik jendela pesawat pemandangan selama perjalanan menyusuri punggung Pegunungan Jayawijaya sungguh tampak mengasyikkan.
(Baca juga: Meski Selalu Ditunggu Kehadirannya saat Natal, Sinterklas Sejatinya Bukanlah Tokoh Natal)
Lembah dan tebingnya tertutup rapat oleh pepohonan. Saat merendah daun-daun pada pucuk pepohonan terlihat jelas.
Tak terasa tiga puluh menit berlalu dan kami sudah harus segera mendarat di Enarotali, yang terletak di ketinggian ± 1.700 m dpi'dengan suhu rata-rata ± 18°C.
Perlahan pesawat mulai turun dan akhirnya mendarat di lapangan udara perintis yang mirip dengan lapangan sepakbola.
Puluhan penduduk yang berkerumun menonton kedatangan pesawat, sempat membuat kami bingung. Sampai kemudian tiga orang polisi menyapa kami, menanyakan apakah kami tamu Pastor Theo.
Polisi ini juga menolong kami dengan meminta anak-anak yang berkerumun tadi membawakan barang-barang dan mengantarkannya ke susteran.
Di tengah jalan kami bertemu dengan Bapak Piet yang memperkenalkan pada Suster Winandi, seorang biarawati yang mengabdikan diri pada suku Ekari.
Sambutan hangat para biarawan dan biarawati dengan suguhan kopi dan kue, menambah kehangatan di udara Paniai yang dingin.
Setelah menghangatkan diri sejenak kami diantar dengan perahu bermotor milik misi menyeberangi Danau Paniai yang indah ke seberang lain tempat tinggal Pater Theo.
(Baca juga: Kisah Pilu Marina Chapman: Dibuang ke Hutan, Dirawat Kera, Lalu Dijadikan Budak Seks)
Penyeberangan selama tiga puluh menit itu terasa cepat. Ombak yang mulai memukul perahu tidak terasa mengganggu.
Kendati kabarnya ombak danau bisa berbahaya bila angin kencang datang. Tak berapa lama perahu kami berbelok, menyusuri aliran S. Dimniya.
Bagi saya S. Dimniya, yang airnya jernih kebiruan adalah sungai paling mengesankan yang pernah saya telusuri.
Di hulu sungai tampak beberapa perahu atau koma dalam bahasa Ekari. Koma ini terbuat dari batang pohon yang dilubangi memanjang pada bagian tengahnya.
Dari hulu sungai ini kami harus memulai pendakian tebing untuk mencapai sisi lain dari bukit di mana Danau Tage berada.
Buat suku Ekari mendaki dan menuruni tebing merupakan persoalan sepele, tapi bagi kami sekeluarga yang biasa dimanja dengan kemudahan kota besar, serta ibu yang telah lanjut usia, hal itu cukup merepotkan.
Tanpa bantuan bocah-bocah Ekari rasanya kami tidak akan berhasil melakukannya.
Bagaimanapun usaha pendakian itu tidak sia-sia, pemandangan yang terhampar di depan kami seusai menuruni tebing terjal, sungguh luar biasa.
Danau Tage benar-benar menakjubkan. Airnya jernih, batu-batuan tampak di dasarnya. Air dari Danau Tage ini mengalir ke Danau Paniai melalui S. Dimniya yang kami susuri sebelumnya.
Sayang, kami tidak mempunyai banyak waktu menikmati panorama danau itu. Kami harus segera menyeberangi danau kembali untuk mencapai rumah Pastor Theo sebelum ombak besar datang.
Walaupun kami sudah berusaha secepat-cepatnya, namun hujan ternyata tidak mau diajak kompromi. Di tengah danau itu perahu motor kami sempat diornbang-ambingkan ombak.
Hujan pun turun dengan deras disertai angin kencang. Sia-sia saja kami berusaha melindungi diri dengan payung.
Anak-anak menggigil kedinginan, karena pakaian mereka basah kuyup dan tiupan udara pegunungan yang menusuk tulang.
Untung saja, perahu motor tetap dapat diarahkan menuju Epoutou, desa kecil di pinggir Danau Tage.
Kelinci hidangan Natal
Rumah Pastor Theo terasa sangat nyaman. Apalagi setelah kami sempat berganti pakaian kering dan menghangatkan diri di dapur.
Di situ adik saya dan suaminya yang tiba lebih dulu di Epoutou menyiapkan hidangan makan siang hari Natal bersama Martha dan Pauline, dua gadis Ekari yang membantu Pastor Theo.
Hidangan Natal yang kami santap pada pukul 15.30 itu sungguh mengejutkan. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa kami akan menikmati makanan selezat itu.
Sebenarnya kami sudah mempersiapkan anak-anak agar siap makan nota (ketela, ubi jalar) makanan utama penduduk dataran tinggi Irian Jaya.
Ternyata mereka sudah menyiapkan sop erwten dengan kuah tulang sapi. Tak ketinggalan kentang rebus dan kentang goreng yang panas dengan sayuran segar selada, tomat, buncis, wortel rebus, dan semur daging kelinci.
Disertai hidangan penutup berupa puding. Sungguh nikmat!
Semua sayur dan buah-buahan juga kelinci dan ayam hasil budidaya Pastor Theo sendiri. Dari hasil bercocok tanam dan memelihara unggas inilah kebutuhan hidup sehari-hari dipenuhi.
Untuk bisa hidup hemat di Tage, mereka justru harus memasak makanan secara Barat.
Hari-hari berikutnya kami selalu memilih makan kentang, walaupun sebenarnya sahabat kami menyediakan beras. Kami juga mencicipi udang danau yang sangat enak.
Udang air tawar ini berkulit keras hampir mirip lobster, tapi kecil tanpa capit yang besar.
Rumah dansa dan disko
Saat perayaan Natal di gereja malam harinya, anak-anak kami diundang untuk ikut mengisi acara.
Sebagaimana kebiasaan remaja Jakarta, anak-anak Ekari suka berjoget dan berdisko bersama. Mereka sangat spontan, tanpa malu-malu berdiri dan ikut berdisko.
Yang lebih mencengangkan adalah ketika beberapa hari kemudian mengelilingi kembali Danau Tage dan singgah di sebuah desa kecil, kami disambut dengan teriakan: "Disko-disko!" oleh anak-anak yang rupanya juga hadir pada saat pesta perayaan Natal.
Malam kedua di Epoutou, saya dikejutkan oleh suara nyanyian khas Ekari yang ritmis dan selalu berulang. Gemanya terdengar nyaring.
Menurut Theo, pada malam-malam tertentu, penduduk sekitar danau akan berkumpul di rumah dansa untuk menyanyi dan berdansa semalam suntuk.
Celakanya, tak seorang pun bersedia menemani saya menonton mereka berdansa. Untunglah, akhirnya saya berhasil membujuk Pauline untuk menemani saya ke rumah dansa.
Rumah dansa ini terbuat dari bambu, berukuran kira-kira 2 x 8 m. Lantainya yang terletak beberapa sentimeter di atas permukaan tanah juga terbuat dari bambu.
Ketika kami tiba telah banyak orang di situ. Para wanitanya membawa obor sementara kaum prianya melompat-lompat berkeliling dalam lingkaran yang tidak beraturan sambil menyanyikan lagu-lagu khas Ekari yang enak didengar.
Di tengah kerumunan penari yang melompat-lompat itu ada seorang pria yang menjadi pemimpin dan menyanyikan pantun serta syair yang selalu disambut dengan nyanyian oleh para wanita dan pria yang melompat-lompat kuat-kuat.
Lompatan itu begitu kuatnya sehingga lantai bambu selalu menyentuh tanah dan batu-batuan di dasarnya yang membuat suasana semakin hiruk pikuk, penuh semangat.
Saya tergerak mengikuti lompatan mereka dan mencoba maju ke tengah lingkaran bergandengan tangan dengan Pauline. Riuh rendah tawa mereka ketika saya ikut mencoba tarian tersebut.
Meski aman dan diterima saya merasa aneh sendirian berada di tengah-tengah kerumunan manusia yang sesungguhnya asing.
Tarian alami yang mungkin terasa agak primitif ini sungguh menggetarkan hati saya. Saya bisa mengerti apabila mereka tahan berdansa semalam suntuk sampai fajar menyingsing dalam suasana tersebut.
Saya tidak mengerti apa arti pantun dan syair yang dibawakan. "Foto-foto!" teriak mereka ketika saya dan Pauline beranjak pulang.
Sayang, saya lupa membawa kamera, namun saya berjanji akan kembali besok malamnya.
Tidak sulit untuk mengajak anak-anak dan suami saya untuk pergi ke rumah dansa keesokan harinya setelah mereka mendengar pengalaman kami malam sebelumnya.
Bahkan Martha, pembantu wanita pastoran yang satu lagi, pun ingin ikut bersama kami.
Mematikan obor dengan remasan tangan
Pengalaman yang kami dapat selama empat hari di Danau Tage sungguh unik dan meninggalkan kesan mendalam.
Pagi hari biasa kami pergunakan untuk berenang di antara batu karang yang jernih airnya ataupun berjalan-jalan mengunjungi desa-desa kecil di sekitar danau.
Atau kami mengamati bocah-bocah Ekari menangkap ikan di danau dengan tangan kosong ataupun mendengarkan nyanyian mereka sembari mendayung koma membelah air danau.
Banyak hal mencengangkan kami seperti cara mereka menyalakan api yang hanya dengan menggosok-gosokkan ranting kering.
Sementara untuk memadamkan obor atau lilin, cukup dengan memegang bara api itu lalu meremasnya.
Cara mereka berkomunikasi juga merupakan hal baru bagi kami. Mereka mengenal tata bahasa serta pemakaian waktu untuk kata kerja seperti pada bahasa Inggris.
Satu-satunya kata Ekari yang sempat saya ingat adalah koya, artinya salam atau selamat.
Bila bertemu, di jalanan atau di rumah, mereka akan selalu menyapa dengan kata koya atau koya-o.
Saudara-saudara kita suku Ekari memang ada yang belum mengenakan pakaian seperti bangsa kita lainnya.
Mereka mengenakan koteka dan rumbai-rumbai sebagai penutup tubuhnya. Sungguh pun begitu, tidak ada kesan bahwa mereka belum mengenal peradaban.
Mereka selalu ramah, spontan, dan apa adanya. Contohnya, seperti pada saat perayaan Natal itu.
Sewaktu ada satu kelompok yang membawakan acara yang kurang bagus, maka tidak akan ada tepuk tangan.
Kami sempat terkejut ketika setelah acara pertama yang memang kurang memikat, kami memberi tepuk tangan, padahal penonton tidak bertepuk tangan.
Wah, jangan-jangan tepuk tangan dianggap penghinaan bagi mereka. (Hestia)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1992)
(Baca juga: Misteri Jam Raksasa di Candi Borobudur)