Find Us On Social Media :

Tjokroaminoto, Jago Berkelahi Tapi Cintanya Kepada Indonesia Tak Pernah Mati

By Yoyok Prima Maulana, Rabu, 20 Desember 2017 | 09:00 WIB

HOS Tjokroaminoto Tak Akur dengan Mertua

la lahir bersamaan dengan meletusnya Gunung Krakatau tanggal 16 Agustus 1883. Waktu kecil ia terkenal nakal. Adik-adik dan kawan-kawannya disuruh masuk ke dalam kurungan ayam atau ditunggangi sebagai kuda.

Sejak di sekolah dasar ia sudah jago berkelahi, kegemarannya main keroyok melawan anak-anak sekolah lain. Karena nakal, sering dikeluarkan dari sekolah. Tetapi berhasil juga ia menamatkan sekolah pangreh praja OSVIA sampai bagian II. Sebentar ia bekerja sebagai jura tulis Patih Ngawi, lalu merantau ke Surabaya. Ia bekerja pada Firma Kooy & Co, sambil belajar di HBS sore dan sejak waktu itu ikut dalam pergerakan Boedi Oetomo. Perkawinannya dengan Raden Ajeng Suharsikin, putri Patih Ponorogo, pada mulanya tak berhasil memberikan ketenangan jiwa. H.O.S. sering meninggalkan istrinya. Ini menimbulkan bentrokan dengan mertuanya, sehingga H.O.S. terpaksa pindah dari rumah mertuanya dengan meninggalkan istrinya yang sedang mengandung.

Ayah Suharsikin sampai pada keputusasaan. Putrinya harus cerai dari suami yang "... tak bertanggung jawab, tak keruan gerak hidupnya." Jawab putrinya, "Baik, saya taat. Tetapi seumur hidup saya tak mau lagi kawin. Karena dunia dan akhirat suami anakmu hanya Mas Tjokro semata."

Mencari H.O.S. pada waktu itu memang tidak mudah. Ia menjadi buruh Pelabuhan Semarang, mengembara mencari guru agama, bahkan juga bertapa di dalam gua. Setelah anaknya yang pertama lahir, seorang putri, baru dia kembali pada istrinya, yang diboyongnya pindah ke Surabaya.

Tentang istri yang setia tersebut, Bung Karno pernah menulis, "Pada saat saya menyatakan hormat dan terima kasih kepada Tjokroaminoto, saya tak mau melupakan Ibu Tjokro yaitu istri Pak Tjokro, seorang wanita yang sungguh luas hati dan luhur budi. Beliau pun meninggalkan kesan yang dalam di kalbu saya."

BACA JUGA: 

Bung Karno menikah dengan Siti Oetari, putri sulung Tjokroaminoto. Perkawinan yang tidak berlangsung lama. Mereka kemudian bercerai setelah Bung Karno meninggalkan Surabaya untuk melanjutkan studi ke Bandung.

Enam tahun Bung Karno diasuh oleh Bu Tjokro yang menerima pelajar-pelajar HBS menumpang di rumahnya, sehingga rumah tersebut terkenal menjadi semacam asrama, Internat Suharsikin. Bung Karno, Drs. Hermen Kartowisastro, Dr. Sampurno, Alimin, Muso, Abikusno, semuanya lama tinggal di internat tersebut.

Bu Tjokro mengerti perjuangan suaminya dan membantu sepenuhnya antara lain dengan berdiri menyelenggarakan rumah tangga sendiri. Karena dari seorang pejuang seperti suaminya, tidak banyak yang dapat diharapkan di bidang materi.

Tiga orang utusan Sarekat Islam dari Solo pada bulan Mei 1912 bertamu ke rumah Pak Tjokro di Surabaya. Mereka mengadakan pembicaraan mendalam tentang program organisasi. Pak Tjokro tertarik akan sifat kerakyatannya, "... mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesaran negeri."

Apalagi jiwa penggeraknya adalah api Islam yang menjala di dada rakyat. Kontan Pak Tjokro menyanggupi. Dalam waktu hanya dua bulan Sarekat Islam Surabaya sudah beranggotakan lebih dari 2.000 orang.

Untuk pertama kalinya Pak Tjokro tampil di depan umum pada Kongres Sarekat Islam I di Kebun Raya Surabaya yang dihadiri oleh ribuan orang. Pimpinan Kongres diserahkan kepada Tjokroaminoto.