Advertorial
Intisari-online.com - Anak priyayi yang lebih suka dipanggil si kromo atau anak petani. Darahnya selalu mendidih saat melihat kaum kecil teraniaya. Bintang penghargaan Ratu Belanda pun dipasangnya di pantat sebagai bentuk protes.
“Keteplok, keteplok, keteplok..."Bendi,kereta roda dua dilarikan kuda tampan. Lebih tegak lagi orang yang bertengger mengekang kendali di belakangnya. Tekap-tekop telapak kudanya menyusuri Jalan Raya Demak pada tahun 1907. Membelok lorong kecil, lenyap dari pemandangan.
Dia bukan pangeran Demak, bukan tuan kontrolir. Pakaiannya seragam rakyat jelata: blangkon (ikat kepala) biru, baju hitam. Banyak orang heran melihat keberaniannya. Mereka berbisik, "Dokter Jawa yang berani. Manusia baik yang suka menolong orang."
Sebaliknya orang kulit putih tersinggung. Gerutu mereka, "Si Jawa yang tak tahu diri. Manusia kurang ajar."
Dr. Soetomo melukiskan, "Seorang dari pahlawan kita yang luar biasa sentimennya, luar biasa teguh memegang cita-citanya, dan luar biasa pula perasaan kemerdekaannya."
Ayahnya guru HIS, sekolah dasar berbahasa Belanda untuk pribumi di Ambarawa, yang kemudian pindah ke Semarang, dan menjadi Kepala Sekolah HIS merangkap anggota Dewan Kota Praja.
Sebagai keturunan Tjitrosoemo, guru agama Islam terkemuka, tidak mengherankan jika kehidupan agama meresapi keluarga Mangunkusumo yang dikaruniai sembilan orang anak: dua perempuan dan tujuh laki-laki.
Tjipto yang berhati keras seperti ibunya, adalah anak sulung. Hubungan batin dengan ibunya kuat, sampai-sampai dia menurut saja ketika dikawinkan dengan gadis pilihan ibunya.
Tatkala Tjipto masuk sekolah dokter (STOVIA) di Jakarta, usianya baru 13 tahun. Gurunya mengakui Tjipto sebagai een begaafd leerling, murid yang berbakat. Pelajar-pelajar STOVIA waktu itu diwajibkan mengenakan pakaian daerahnya masing-masing.
Tjipto memilih pakaian Pak Tani. Dekil, kumal, rambutnya yang gondrong keluar dari ikat kepalanya. Dalam seragam tersebut sambil menatap guru-gurunya orang Belanda, dia menyatakan dengan resmi, "Aku anak rakyat, anak Si Kromo."
Kalau teman-teman lain berpesta atau bermain bola sodok, Tjipto sendirian membaca buku atau bermain catur. Pada setiap ceramah dia selalu hadir dan buka suara. Ini disaksikan misalnya oleh Salim (Haji Agus Salim) pelajar HBS yang sering bertandang ke STOVIA.
Sekali waktu himpunan pelajar STOVIA mengadakan rapat. Tjipto mengemukakan pendapat yang dianggapnya benar. Hadirin menolak pendapatnya. Bagaimana reaksi Tjipto?
Mengundurkan diri dari perkumpulan. Dia tak mudah menyerah kepada pendapat umum dalam membela kebenaran pendapatnya.
BACA JUGA:Inggit Ganarsih, Kartini Terlupakan Di Belakang Soekarno
DOKTER KURANG AJAR
Setelah berdinas setahun di Banjarmasin, dokter Tjipto (20 tahun) pindah ke Demak. Di kota tersebut semakin masak pendiriannya bahwa dia hidup dalam masyarakat palsu. Nasib rakyat banyak, kedudukan istimewa kaum bangsawan, kedudukan yang dipertuan orang-orang Belanda, semua itu menggelisahkan jiwa mudanya.
Jarum suntik saja tak memuaskan hatinya. Dia mengangkat pena. Memaparkan pendapatnya dalam Harian De Lokomotief terbitan Semarang, menyerang kolonialisme dan feodalisme.
Tjipto seorang dokter pemerintah. la dilarang menulis dalam surat kabar, apalagi tulisan yang hendak menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan pemerintah. Orang-orang kulit putih di Demak berang hatinya, setiap kali mendengar bisikan orang: Helmhoed, topi kehormatan mereka, di rumah dokter Tjipto dijadikan pot bunga.
Tjipto akhirnya mengambil keputusan. la minta berhenti dari dinas pemerintah. Dalam kondisi demikian Tjipto menerima undangan untuk menghadiri Kongres Pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta tanggal 3-4 Oktober 1908.
la paparkan pendiriannya. Hendaknya Boedi Oetomo menjadi organisasi politik, terbuka untuk setiap orang, menjadi pemimpin rakyat banyak dan jangan berhubungan dengan kaum feodal. la mendapat tantangan keras dari Radjiman Wediodipuro. Ternyata Tjipto justru 20 tahun mendahului zamannya. Keras sama keras, dia langsung mengundurkan diri.
Boedi Oetomo dia tinggalkan, begitu pula Demak. Tjipto pindah ke Solo, buka praktik sebagai dokter swasta. Bendinya keluar-masuk kampung. Tetapi juga dia pacu mondar-mandir di sekitar Alun-alun Keraton tanpa seizin Susuhunan Paku Buwono. Dokter kurang ajar tersebut dengan sendirinya tidak disukai oleh Sunan. Agaknya jiwa si Kromo yang berontak mendapat kenikmatan dengan perbuatan itu.
Tentang praktiknya di Solo, dr. Soetomo menulis, "Sebagai dokter partikelir di Solo tidak sedikit kesenangan dan pendapatannya.Para pasien dari bermacam-macam golongan menaruhkepercayaan kepadanya. Hingga bertambah hari, bertambah banyaklah bilangan handai tolan."
MENGGENTARKAN PENJAJAH
Wabah pes mengamuk di daerah Malang. Tjipto langsung menawarkan diri sebagai sukarelawan, sekalipun dia dokter swasta. Keluar masuk pondok-pondok bambu - tanpa mengenakan masker dan sarung tangan - yang sebentar lagi akan dibakar untuk mencegah wabah.
Untuk jasanya memberantas wabah pes, Tjipto dianugerahi Bintang Ridderorde. Sial nasib penerima bintang dari Sri Ratu Wilhelmina tersebut. Di Malang dokter Jawa ini bertengkar dengan kontrolir. Tanpa diusut siapa yang benar, siapa yang salah, keputusan segera jatuh; Tjipto dipindahkan.
Ini membuat hatinya berontak. Semakin panas lagi ketika permintaannya untuk kembali ke Solo ditolak. la ingin ke Solo sebenarnya bukan untuk membuka kembali praktiknya yang telah lalu, melainkan untuk memberantas wabah pes yang ganti berkecamuk di sana.
Kali ini pun reaksinya khas Tjipto. Bintang kehormatan dari ratu Belanda tersebut dia ambil dari lemari. la pasang di pantat celana, dan dibawanya ke Jakarta untuk dikembalikan kepada yang memberi. Banyak orang girang sekali mendengar keberanian eksentrik tersebut.
Di Malang dokter Tjipto secara kebetulan berjumpa dengan E.RE.Douwes Dekker, yang sedang mempropagandakan Indische Partij. "Gerakan politik bagi seluruh rakyat di Kepulauan Hindia Belanda, gerakan politik yang menentang kolonialisme dan bertujuan kemerdekaan Hindia (Indonesia)."
Cocok dengan hasrat hatinya, Tjipto turut ke Bandung. La menjadi wartawan Harian De Express dan Majalah Het Tijdschrift milik Douwes Dekker. Berkantor di gedung Eerste Bandungsche Publiciteits Mij. di depan alun-alun Bandung.
Rapat pembentukan Indische Partij berlangsung tanggal 25 Desember 1912 di Bandung. Douwes Dekker terpilih menjadi ketua, Tjipto wakilnya. Segera mereka mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal agar partai ini diakui sebagai badan hukum. Namun dua kali surat permohonan diajukan, keputusannya Indische Partij tetap sebuah partai terlarang.
Pada tanggal 13 Maret 1913 Douwes Dekker dan Tjipto menghadap Gubernur Jendral Idenburg di Istana Bogor. Gubernur Jenderal tetap pada keputusannya. Akhirnya Douwes Dekker melontarkan pertanyaan hitam putih," Apakah Pemerintah Hindia Belanda mempunyai keinginan untuk sekali waktu memberikan kemerdekaan kepada rakyat jajahannya?"
Idenburg ternyata menggelengkan kepala.
Senjata satu-satunya tinggal De Express dan Het Tijdschrift. Pena mereka bersama tulisan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) terus-menerus menggentarkan pemerintah kolonial.
MUTIARA TAK TERNILAI
Karena dianggap membahayakan pemerintah kolonial Belanda, Tjipto pun dibunag. Dua belas tahun lamanya dokter Tipto berada dalam pembuangan di Pulau Banda. Tahun 1940 dalam usia 54 tahun dia sekeluarga diizinkan pindah ke Makassar untuk berobat.
Suatu hari Mr. Sujitno Mangunkusumo, adiknya datang berkunjung, "Sudah tua benar abangku itu, 55 tahun usianya sekarang. Pipinya peot, lubang di jidatnya tepat di atas batang hidungnya bertambah lebar dan dalam." Tubuhnya sudah rongsokan, tetapi jiwanya masih tetap segar.
Pada tahun itu juga dokter Tjipto dipindahkan ke Sukabumi, sampai tentara Jepang datang. Seorang Tionghoa yang merasa berutang budi kepadanya menyediakan rumah besar di daerah Polonia, Jakarta, lengkap dengan segala perabotnya. Tetapi penyakitnya semakin hebat.
Sering dia berteriak minta disuntik adrenalin. Sudah beratus- ratus ampul kosong. Obat itu tidak dijual di rumah obat, sedangkan di luar harganya tidak terjangkau. Donald lalu terpaksa memberikan suntikan berisi air, sekedar untuk sugesti.
Atas anjuran dokter Loe Ping Kian, Tjipto kemudian diangkut ke Jang Seng Ie (sekarang R.S. Husada di Jl. Mangga Besar). Dokter Tjipto wafat di sana tanggal 8 Maret 1943 dalam usia 57 tahun (ia lahir tahun 1886) dan kemudian dimakamkan di Ambarawa. Warisan yang ditinggalkannya antara lain, "... buku-buku yang sudah banyak dimakan rayap dan beberapa peti berisi ampul kosong adrenalin."
Sampai ajalnya dia tetap saja Si Kromo. Ia pernah berpesan keras kepada istri dan saudaranya, "Kalau aku mesti meninggal di sini, kuburlah aku di pekuburan rakyat dengan sederhana seperti rakyat biasa." Sederhana?
Bukankah dia sebutir mutiara yang dewasa ini sukar sekali ditemukan? (Disadur dari buku "Sketsa Tokoh" karya Jakob Oetama)
BACA JUGA:Misteri Janda Perawan Bung Karno