Demi Atasi Defisit, BPJS Kesehatan Juga Ingin Naikkan Tarif Premi Peserta Mandiri

Ade Sulaeman

Penulis

Intisari-Online.com - Pemerintah serius segera membenahi keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang terus defisit.

Makanya, Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) 8/ 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Diteken 23 November 2017, instruksi diberikan ke 11 menteri dan lembaga.

Antara lain: Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri BUMN, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Direksi BPJS Kesehatan, dan kepala daerah.

(Baca juga: Catat! Inilah 8 Penyakit yang Pembiayaannya Tak Lagi Ditanggung 100% oleh BPJS Kesehatan)

Presiden minta agar mereka mengambil langkah sesuai tugas, fungsi dan kewenangan untuk menjamin kelangsungan dan peningkatan kualitas pelayanan peserta JKN.

Menteri Kesehatan, semisal, diminta evaluasi dan menyempurnakan regulasi terkait pelayanan kesehatan JKN.

Menkes juga harus menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan bagi peserta JKN dan menyempurnakan sistem pembiayaan bagi penyakit katastropik.

Sedang pemimpin daerah harus mengalokasikan anggaran untuk program JKN.

Gubernur diminta memastikan bupati dan walikota mengalokasikan anggaran untuk program JKN.

Menteri Dalam Negeri juga diminta untuk memastikan gubernur, bupati dan walikota mengalokasikan APBD untuk program JKN dan mendaftarkan seluruh penduduknya dalam program JKN.

Sedang Direksi BPJS Kesehatan harus memastikan peserta JKN mendapat akses pelayanan jaminan kesehatan yang berkualitas.

Kepala Biro Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat mengatakan, Inpres No.8/2017 diterbitkan untuk mendukung target 100% masyarakat Indonesia terdaftar JKN pada 2019.

(Baca juga: Duh, Terus Defisit, BPJS Kesehatan Tak Mau Lagi Tanggung 100% Biaya Perawatan)

Saat ini, masyarakat yang terdaftar JKN baru 185 juta orang.

"Masih ada sekitar 80 juta warga yang belum terdaftar," ujarnya.

Nantinya jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan menjadi acuan bagi Pemda dalam mengalokasikan anggaran JKN.

Tambahan alokasi anggaran daerah untuk JKN ini, kata Nopi, akan dapat membantu memperkecil defisit BPJS Kesehatan yang terus bertambah.

Sejak pertama kali digulirkan tahun 2014 hingga sekarang, keuangan BPJS Kesehatan selalu defisit. Defisit 2016 mencapai Rp9,7 triliun, membengkak dari 2015 sebesar Rp6 triliun.

Tahun ini diperkirakan naik menjadi lebih dari Rp10 triliun.

Untuk menekan defisit, banyak langkah diusulkan.

Catatan KONTAN, opsi itu: pertama, meminta Pemda mengalokasikan dana untuk mendukung BPJS Kesehatan.

(Baca juga: Pasien Bedah Sesar akan Ikut Dibebankan Biaya Operasi Jika BPJS Kesehatan Temukan Ini)

Kedua, mengusulkan cost sharing untuk penyakit yang butuh perawatan medis lama dan berbiaya tinggi (katastropik).

Ketiga, menaikan tarif premi peserta mandiri BPJS. Terakhir, mengalokasi penerimaan cukai rokok untuk menyokong kesehatan keuangan BPJS Kesehatan.

Kepala Pusat Penerangan Kemdagri Arief M Edie bilang, Kemdagri mengimbau Pemda mengalokasikan dana APBD untuk program JKN. Meski tak ada sanksi, evaluasi akan dilakukan.

"Ada sanksi sosial. Kami akan pertanyakan. Apalagi jika ada warga melapor," katanya, Jumat (24/11).

Sesuai UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, Pemda wajib alokasikan anggaran kesehatan minimal 10% dari total anggaran di luar gaji. Alokasi ini bisa untuk program JKN.

"APDB terbatas. Kalau tak cukup dan bisa akibatkan kesulitan, tak harus 10%," kata dia.

(Adinda Ade Mustami, Anggar Septiadi)

Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul “Daerah wajib pikul dana kesehatan”.

Artikel Terkait