Advertorial
Intisari-Online.com - "Saya punya sahabat yang melahirkan anak, namun tak punya biaya dan jaminan kesehatan. Usai melahirkan, bayi itu mereka bawa pulang, diselimuti kain, dihangatkan pakai bohlam, beberapa hari kemudian bayinya meninggal."
Kalimat tersebut meluncur lancar dari mulut seorang ibu, Suparni (27), Warga Desa Bukit Peninjauan II, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.
Suparni saat ini hamil enam bulan. Ia sama sekali tak memiliki persiapan biaya untuk menghadapi kelahiran.
Suparni merupakan ibu rumah tangga. Suaminya bekerja sebagai kuli bangunan. Ia memiliki satu orang anak.
(Baca juga: Kepada Dinas Kesehatan DKI, RS Mitra Keluarga Kalideres Klaim Tidak Tahu Bayi Debora Pasien BPJS)
Jika ia melahirkan bayi yang ada di kandungannya saat ini, maka ia akan memiliki dua orang anak.
"Saya bahagia bercampur cemas. Bahagia akan punya anak, namun saya tidak memiliki biaya apalagi asuransi kesehatan seperti JK KIS dan semacamnya," kata Suparni, belum lama ini.
Saat anak pertamanya lahir, biaya persalinan dibantu program Jaminan Persalinan (Jampersal), namun saat ini program tersebut tidak ada lagi.
Ia tidak masuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Kartu Indonesia Sehat (KIS), karena memiliki kredit sepeda motor dan rumah.
"Kami ini punya motor kredit untuk suami bekerja. Kalau tidak ada motor, suami tak dapat bekerja. Karena punya motor, maka kami tak bisa mengakses JKN KIS," cerita Suparni.
Begitu juga dengan rumah. Menurutnya, rumah yang ia miliki saat ini, jauh dari layak huni meski itu milik pribadinya.
"Saya berharap pemerintah dapat mengevaluasi lagi aturan tersebut karena memiliki motor tidak jaminan bahwa kami keluarga tidak miskin," pintanya.
Secara terpaksa, Suparni berencana ikut program BPJS dengan biaya iuran Rp25.000 per bulan per anggota keluarga.
(Baca juga: Lewat BPJS-TK, Anak TKI yang Meninggal Dunia Diberi Beasiswa Sampai Lulus Serta Santunan Rp85 Juta)
Artinya untuk empat orang anggota keluarga termasuk calon bayi ia harus merogoh kocek Rp100.000 per bulan.
"Iuran BPJS Rp100.000 per bulan itu sungguh berat bagi keluarga kami. Namun saya tidak mau kejadian teman saya anaknya meninggal karena tak ada jaminan kesehatan terjadi pada saya," ujarnya pelan.
Suparni tidak sendiri, ada banyak perempuan hamil lainnya mengalami hal serupa.
Pengurus Cabang Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Kabupaten Seluma, Meri Oktarina mengatakan, ketakutan Suryani rata terjadi di sebagian besar perempuan desa.
Meri menjelaskan, KPI Kabupaten Seluma memiliki tiga posko Pusat Informasi Pengaduan dan Advokasi (PIPA) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), di mana sebagian besar pengaduan yang diterima terkait terkendalanya akses manfaat jaminan kesehatan.
"Tidak adanya kepastian terhadap jaminan kesehatan ini kadang yang memperburuk kondisi kehamilan ibu," jelasnya.
Meri menilai, kesadaran pentingnya jaminan kesehatan bagi masyarakat wajib ditumbuhkan.
Namun persoalannya, jika hari ini mereka tidak berpartisipasi dalam jaminan kesehatan mandiri itu karena memang tidak mampu.
(Baca juga: Dokter Ini Tolak Pasien BPJS karena Takut Dosa Riba, NU Pernah Jelaskan Ini)
Perlu menjadi bahan pemikiran bersama, agar jaminan kesehatan dapat dinikmati semua tanpa pengecualian.
Persoalan kematian ibu dan bayi, menurut Meri, tidak hanya disebabkan kurangnya pengetahuan ibu-ibu. Tapi juga rendahnya akses terhadap layanan kesehatan.
Sehingga wajar jika angka kematian ibu saat hamil maupun melahirkan di Provinsi Bengkulu masih tinggi, termasuk di Kabupaten Seluma.
Dari data Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu terungkap, angka kematian ibu baik saat hamil maupun melahirkan di Kabupaten Seluma pada 2015 menempati urutan ketiga sebanyak 160 per 100.000 kelahiran hidup.
(Firmansyah)
Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul “Kisah Keluarga Miskin Hangatkan Bayi dengan Bohlam hingga Meninggal”.