Find Us On Social Media :

Dulu Songket Sukarara Hanya Bisa Diperoleh Setelah Kawin Lari, Kini Bisa dengan Mudah Dibeli

By Ade Sulaeman, Selasa, 14 November 2017 | 17:00 WIB

Intisari-Online.com – Dulu, songket alias tenun ikat buatan Desa Sukarara, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat, dibuat secara khusus oleh gadis-gadis untuk calon suaminya. Kini siapa pun bisa memilikinya karena sudah jadi komoditas wisata.

Masuklah ke Sukarara, sebuah desa di dalam Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Betapa ciri utama akan terlihat. Art shop atau toko suvenir berjajar, menawarkan kain tenun pada etalasenya.

Embel-embelnya pun gagah: traditional weaving, Sasak customs and handicrafts, atau sejenisnya, yang merujuk pada pengertian tenun tradisional. Di salah satu sisi tampak beberapa wanita – sebagian bergincu warna menyala – duduk menggarap kain tenunan.

Kakinya terjulur, di pinggangnya terdapat lekot atau kayu penahan beban, dihubungkan tali dengan perangkat tenun lainnya.

(Baca juga: Kesal dan Geregetan, Ibu Hamil Ini Masukkan Lombok ke Miss V Perempuan Selingkuhan Suaminya)

Bunyi "Tek ... tek ... tek" terdengar hampir tanpa henti, ibarat denyut jantung manusia. Itulah denyut kehidupan  masyarakat Sukarara, desa yang sudah turun-temurun dikenal sebagai pusat tenun ikat Lombok.

Songket Sukarara, agaknya menyimpan riwayat cukup samar. Bukan karena tiadanya data atau catatan yang bisa memberi jejak, terlebih karena seni tenun itu sudah menyatu dengan kehidupan masyarakatnya.

Bahkan bukan hanya masyarakat Sukarara sendiri, melainkan juga masyarakat Sasak pada umumnya. Lahir dan mekar di dalam perilaku dan adat-istiadat, juga merupakan cermin dan ekspresi hidup. Maka, penelusuran riwayatnya bisa dikembalikan ke perkembangan masyarakat itu sendiri.

Setidak-tidaknya, inilah yang dituturkan Supardi, pembina KUD Kenya Batur, yang menghimpun para perajin tenun ikat Sukarara, "Kain songket merupakan bagian dari adat dan harus dipakai dalam upacara adat, misalnya perkawinan atau kematian."

Ketika menikah, seorang wanita harus memberikan tenunan hasil karyanya semasa gadis kepada calon suaminya.

Penyerahan dilakukan sesudah keduanya melakukan selarian (kawin lari), yakni bersamaan dengan upacara surung serah, penyerahan emas kawin dalam aturan tradisi dipadu dengan agama Islam.

Isinya berupa kepeng penyurung (uang adat) beserta pengusap malak (kain pembungkusnya), kain lekasan, tumpuan wirang (berupa senjata tajam), serta penginang.

Sejak kecil, seorang gadis diharuskan belajar menenun. Ini berlaku sejak zaman dulu - ketika benang kapas dipilin pakai tangan - sampai sekarang, ketika bahan baku mudah didapatkan.

(Baca juga: Ternyata Ada Pohon Purba di Lombok Timur, Usianya Sudah 3,5 Abad)

"Anak kelas 4 SD, sepulang sekolah pun terus menenun," ujar Lala Rahma, salah seorang  pengurus KUD.

Tak soal bahwa hasil karya si gadis mau dijual atau disimpan. Sebab dulu, jauh sebelum songket jadi mata dagangan, pembuatannya lebih dimaksudkan untuk menilai kemampuan dan keluwesan si gadis.

Tak salah kalau Genuh, pengurus koperasi yang sama, menambahkan, "Kalau seorang gadis punya banyak koleksi tenun, berarti ia gadis kreatif. Pasti banyak pemuda yang memacarinya."

Maka tak usah heran, jika gadis Sukarara punya pacar 4 - 5 orang. "Kalau midang (apel - Red.) giliran," tambah Genuh. "Misalnya si A datang malam apa, si B malam apa. Bahkan jamnya pun bergiliran, masing-masing pacar tidak boleh saling menyalahi."

Ini akan berlangsung sampai si gadis menjatuhkan pilihannya. Diambillah kesepakatan untuk melakukan selarian.

"Pemuda yang tidak kebagian tak hanya marah. Perkelahian pun bisa terjadi," sela Supardi. "Malah zaman dulu, rebutan bisa sampai bunuh-bunuhan, atau yang gagal mendapat si gadis akan bunuh diri. Nggak apa-apa, karena adat membenarkan," sambung Genuh.

(Baca juga: Mengaku Penyuka Pedas, Masakan-masakan Khas Lombok Ini Siap Menantang Anda. Berani?)

Laki-laki tak boleh lihat

Beberapa bagian dari perlengkapan busana wanita Sasak adalah baju lambung, kain gegeret, dan sabuk lulo.

Kalau mau mencari, akamya terdapat di Sukarara, desa beipenduduk sekitar 3.000 jiwa, yang sampai pertengahan tahun ini 1.017 orang di antaranya terjun ke industri songket, dan 415 di antaranya jadi anggota koperasi.

Di setiap rumah terdapat 1 - 4 perangkat tenun tradisional yang acap disebut peranggon. Setiap peranggon terdiri atas jaja, lantern, tutuk, batang, swih, terudak, pendiring, penengol, erek-erekr lekot, gun, berire, dan Iain-lain.

Semuanya 100 persen manual alias alat tenun bukan mesin  (ATBM). Dari sekian banyak bagian peranggon, yang paling penting adalah berire. Kayu panjang yang mirip pemukul ini adalah perangkat pokok untuk merapatkan serat benang tenunan.

Setiap kali benang disusun pada bagiannya, berire dipukulkan. Jumlah pukulan pun punya makna tersendiri. Satu kali dilakukan dalam pembuatan kain kafan (leang), dua kali untuk songket biasa.

"Ini karena Tuhan satu adanya," jelas Jero Mursam, disainer motif tenun paling senior di Sukarara.

Mengingat posisi pentingnya dalam pertenunan tradisional, berire haruslah dibuat dari kayu pilihan. "Dulu, tak ada pilihan, berire harus dibuat dari bagian galih (inti.- Red.) kayu asam. Sekarang, kayu apa saja boleh, asal kuat," urai Supardi.

Soalnya, berire bisa difungsikan lain: sebagai senjata, kalau si wanita penenun diganggu, misalnya.

Bagian dari tradisi pertenunan Sukarara yang sampai sekarang masih membekas adalah keyakinan, bahwa kegiatan ini adalah monopoli kaum wanita. Ada satu-dua laki-laki yang terlibat, tapi - kata Supardi - sifatnya kewanita-wanitaan.

Jadi, ketika kegiatan pertenunan giat dilakukan di Sukarara, kaum wanita praktis bebas dari segala tugas. Memasak nasi, mengasuh anak, misalnya, dilakukan kaum pria.

Bahkan ada saatnya, pembedaan profesi menurut jenis kelamin ini sangat tajam. Ketika wanita menggulung benang, laki-laki tak boleh mendekat. Kegiatan menenun pun dilakukan secara tersembunyi, yakni di dalam lumbung tertutup.

Perancang motif - profesi yang tidak dimiliki setiap penenun – dilarang melakukan kegiatan pada malam hari. Jika aturan adat itu dilanggar, akan mengakibatkan jalinan benang yang kendur, bahkan menimbulkan  sakit atau gangguan fisik.

Karena itulah, barangkali, isu impotensi yang melanda laki-laki pengganggu kegiatan penenunan, masih terngiang sampai sekarang. Kesakralan masih ada, meski dalam kadar yang makin tipis.

Zaman sudah berubah, dan kecermatan merancang motif pun, misalnya, tak perlu terhambat oleh kegelapan, lantaran orang sudah bisa memakai lampu terang-benderang di malam hari.

Pilih jadi perajin karena sifat kewanitaannya jelas

Setelah songket Sukarara diminati orang luar, orientasi bisnis pun diterapkan. Perubahan mencolok bukan hanya ditandai tumbuhnya art shop, tapi juga dalam sisi pembinaannya. Tahun 1978, para perajin baru membentuk persatuan.

Tahun 1981, upaya pembinaan diprakarsai dinas pariwisata dan dinas perindustrian setempat. Lima tahun berikutnya, berdirilah KUD Karya Batur yang menghimpun hampir seluruh perajin Sukarara. "Tujuannya untuk menstabilkan harga," jelas Supardi.

"Sebelumnya, hal itu tidak pernah ada. Masing-masing orang memasang harga sendiri, malah art shop memasang harga terlalu tinggi karena harus membagi 40% keuntungan kepada pemandu wisata."  

Sekaligus sebagai pola melatih kedewasaan, mengingat dulu, seorang gadis dilarang menenun (serius) kalau belum dewasa.

 Upaya pembinaan meliputi manajemen produksi, teknik produksi, pemasaran, dan sebagainya. "Soalnya, modal kerja, keterampilan, dan jiwa bisnis belum merata," tambah Supardi. Hasilnya bukan hanya harga yang bisa distabilkan, tapi juga pasar dan bahan baku yang lebih jelas bagi para perajin.

Yang di rumah-rumah pun tak perlu khawatir pada ancaman dari 9 art shop yang ada, tak perlu cemas karena persaingan dan berbagai dampaknya.

Selembar kain tenun berukuran 60 cm x 4 m yang dikerjakan selama 1 bulan, punya harga jual paling rendah Rp 15.000,00. Belum lagi untuk motif yang lebih rumit serta bahan baku benang yang lebih mewah.

Jika dijabarkan per hari kerja (07.30 - 16.00 WB dikurangi 1 jam istirahat), pendapatan seorang perajin sekitar Rp 750,00. "Meski paling banyak, sehari dapat satu jengkal," Lala Maenah, salah satu dari 18 putra-putri Jero Mursam menjelaskan.

Jumlah sekian memang lebih kedl dibandingkan dengan penghasilan seorang buruh tani, misalnya, yang sehari mendapat Rp 1.000,00 plus sekali makan.

Tapi gadis-gadis lebih memilih jadi perajin, profesi bergengsi dan cocok untuk wanita – ketimbang harus berkubang di lumpur dan kepanasan.

Masalahnya, di samping lahan persawahan yang minim, minat memburuh di sawah pun makin  kecil. Bahkan ada satu dusun dengan hanya satu pemilik sawah. Warga yang lain hidup dari tenun dan bertani.

"Beberapa tahun lalu, pada bulan April semua  sawah sudah selesai dipanen. Tapi sekarang belum, karena buruh tani berkurang," Supardi memberi ilustrasi.

Bagi Desa Sukarara, sektor industri tenun tampak semakin menjanjikan perbaikan kehidupan. Kalau KUD Karya Batur mencatat nilai penjualan bulanan hingga Desember 1989 Rp 3.275.800,00, pertengahan tahun 1990 meningkat 2 kali lipat.

Tahun ini ditargetkan kenaikan 50% dari total sales, meski Supardi dan rekan-rekannya optimistis mampu melampauinya.

Satu hal yang bukan mustahil akan menjadi kendala adalah pola kerja dan perangkat tradisional yang dipakai para perajin. Upaya peningkatan produktivitas yang diprakarsai pembina di koperasi sampai saat ini hanya baru sampai pada 2 produksi per orang per bulan.

Sangat jauh dibandingkan dengan produksi mesin, misalnya. Namun, Supardi menolak kemungkinan beralihnya ATBM ke mesin-mesin elektronik. "Turis-turis masih senang dengan tenun tradisional. Spesifikasi ini yang harus dipertahankan," katanya, meski sama dengan kita, ia tak tahu akan bertahan sampai kapan.

Yang pasti, songket Sukarara telah bergeser jauh dari makna asilnya. Kalau dulu jadi persembahan gadis-gadis kepada colon suaminya, sekarang telah jadi komoditas wisata.

Menyiapkan kain kafan diri sendiri

Di antara para penenun songket Sukarara, profesi perancang motif terbilang langka. Pendataan yang dilakukan tahun 1988, di Desa Sukarara hanya terdapat 18 orang. Yang punya tingkat kepakaran tinggi hanya 2 orang, sangat kontras dibandingkan dengan jumlah perajinnya yang lebih dari 1.000 orang.

Konon, penciptaan sebuah motif bukan cuma perlu inspirasi tingkat tinggi, topi juga jampi-jampi dan doa dalam kesakralan khas. Beberapa motif semisal wong menak (Arjuna), ulat naga dan subahnala  terbilang motif warisan leluhur dan masih dianggap sakral.

Sedangkan motif semacam ragi genap, kemah, dan yang lebih ngepop lainnya termasuk kreasi modern.

 Motif subahnala  berupa bunga berkelopak tiga yang sedang mekar. Tiap ornamennya menggambarkan bagian-bagian dari jalan yang harus dilalui manusia dalam hidup menuju keutamaan.

Konon, subahnala jadi lambang adat raja dari Karangasem, Bali; yang pernah berkuasa di Lombok Tengah. Penamaannya didasari ucapan syukur dari seorang wanita penenun yang penat seusai menenun, "Subhanahu wataala".

Akibat pengaruh dialek Sasak Sukarara, sebutan itu berubah jadi subahnala (dibaca subahnale).

Jero (Ibu) Mursam berusia lebih dari 65 tahun; dialah pakar perancang motif tertua di Sukarara. Kemampuannya didapat secara turun-temurun. Motif yang selesai dirancang, kemudian dibagikan. Para perajin tinggal mencontoh dan menerapkan dalam tenunan.

Sampai sekarang, Jero Mursam masih merancang sekali-sekali. Sedangkan kegiatan menenun, masih jadi bagian hidupnya setiap hari, di rumah peninggalan almarhum suami, yang ditinggali bersama seorang putrinya yang sudah janda, serta seorang cucu wanita yang berusia 14 tahun.

Dibandingkan dengan songket biasa, ia lebih banyak menenun leang yang ditandai sekali  pukulan berire seusai menyusun benang.

Sebagai perancang tertua, ia sangat berhak menenun leang, yang benangnya diambil dari kualitas paling sederhana, kemudian dicuci bersih dan diolesi nasi supaya kuat dan mudah dipilah.

Menurut adat, penenun leang haruslah orang yang sudah berkeluarga atau golongan tua sebagaimana Jero Mursam. Waktu pembuatannya pun harus dalam bulan-bulan tertentu: Ramadhan, Maulid, dan Rajab.

Bulan-bulan yang lain tidak diperkenankan - herannya - tanpa alasan. "Pokoknya tidak boleh," ujamya singkat.

Jero Mursam memang tak banyak bercerita tentang kegiatannya, termasuk harus capek-capek membuat kain warna putih, yang banyak terdapat di toko atau pasar. Ia hanya menunjukkan, bahwa pemilihan jenis benang paling sederhana dimaksudkan supaya mudah membusuk dan menyatu dengan tanah, bersamaan dengan membusuknya jasad.

"Saya sudah membuat ini untuk banyak orang. Anak-anak saya yang meninggal maupun orang lain. Barangkali yang sekarang ini untuk saya sendiri, Nak," tambahnya sambil tekun bekerja.

Matanya masih cermat membetulkan benang yang salah jepit, tangannya masih kuat menggenggam berire halus berwama coklat tua. (Yan/Rul/SL)

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1991)

(Baca juga: )