Find Us On Social Media :

Dulu Songket Sukarara Hanya Bisa Diperoleh Setelah Kawin Lari, Kini Bisa dengan Mudah Dibeli

By Ade Sulaeman, Selasa, 14 November 2017 | 17:00 WIB

Sejak kecil, seorang gadis diharuskan belajar menenun. Ini berlaku sejak zaman dulu - ketika benang kapas dipilin pakai tangan - sampai sekarang, ketika bahan baku mudah didapatkan.

(Baca juga: Ternyata Ada Pohon Purba di Lombok Timur, Usianya Sudah 3,5 Abad)

"Anak kelas 4 SD, sepulang sekolah pun terus menenun," ujar Lala Rahma, salah seorang  pengurus KUD.

Tak soal bahwa hasil karya si gadis mau dijual atau disimpan. Sebab dulu, jauh sebelum songket jadi mata dagangan, pembuatannya lebih dimaksudkan untuk menilai kemampuan dan keluwesan si gadis.

Tak salah kalau Genuh, pengurus koperasi yang sama, menambahkan, "Kalau seorang gadis punya banyak koleksi tenun, berarti ia gadis kreatif. Pasti banyak pemuda yang memacarinya."

Maka tak usah heran, jika gadis Sukarara punya pacar 4 - 5 orang. "Kalau midang (apel - Red.) giliran," tambah Genuh. "Misalnya si A datang malam apa, si B malam apa. Bahkan jamnya pun bergiliran, masing-masing pacar tidak boleh saling menyalahi."

Ini akan berlangsung sampai si gadis menjatuhkan pilihannya. Diambillah kesepakatan untuk melakukan selarian.

"Pemuda yang tidak kebagian tak hanya marah. Perkelahian pun bisa terjadi," sela Supardi. "Malah zaman dulu, rebutan bisa sampai bunuh-bunuhan, atau yang gagal mendapat si gadis akan bunuh diri. Nggak apa-apa, karena adat membenarkan," sambung Genuh.

(Baca juga: Mengaku Penyuka Pedas, Masakan-masakan Khas Lombok Ini Siap Menantang Anda. Berani?)

Laki-laki tak boleh lihat