Find Us On Social Media :

Arca Ganesha Penunggu Pulau Panaitan

By Moh Habib Asyhad, Minggu, 22 Oktober 2017 | 08:00 WIB

Intisari-Online.com – Sebongkah batu berbentuk orang bersila dan bertampang gajah, teronggok condong mukanya ke arah tenggara.

Arca Ganesha! Ledakan rasa senang akan temuan benda sejarah ini diimbangi letupan rasa kecewa, karena "arca Syiwa" yang pernah ada di sana sudah hilang tak berbekas lagi.

Gunung Raksa hanya 325 meter, punggungnya memagari sebagian sisi timur Pulau Panaitan (17.500 hektar).

Rintisan bekas jalan setapak dari beberapa rombongan terdahulu, benar-benar sulit dilacaki lagi.

Hutan pekat setempat, sempat menyita hampir setengah hari terputar sesat. Barulah hari kedua pilar triangulasi Gunung Raksa terlalui dan menemui arca Ganesha yang masih misterius ketuaan usianya.

Sudah diketahui sejak 1894

Wedana Caringin (Labuan), Raden Adipati Koesoemaningrat waktu inspeksi pilar Gunung Raksa di Prinsen Eiland (sekarang P. Panaitan), menemukan 2 buah arca batu.

Lalu dilaporkan dan dimuat pada Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde,  uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, jilid XXXVII, tahun 1894 — halaman 313.

Lalu laporan tahun 1952-53 dari Dinas Purbakala mencatat lagi arca ini, malah sudah didaftarkan sejak tahun 1914 pada Rapporten Oudheitkundige Dienst — nomer 9.

Pihak Seksi PPA — Ujung Kulon dan Panaitan sudah beberapa kali ke sana, membuat sedikit dokumentasi kasar.

"Patung orang-nya tahun 1975 masih ada, malah pohon hanjuang ini saya tanam tepat di belakangnya," Andy Koharudin — Kepala Rayon PPA Bogor, ngotot memberi keterangan.

Memang bekas lubang alas arca masih kelihatan, pohon hanjuang-pun masih segar tumbuh memerah daunnya. Tetapi apapun yang didiskusikan sekitar lenyapnya "arca Syiwa", tetap saja Ganesha tinggal sendirian di puncak Gunung Raksa.

Teka-teki arca Panaitan

Foto "arca Syiwa" menggambarkan manusia menunggang sapi, suatu seni arca agak lain dibandingkan seni arca Syiwa dari Jawa Tengah atau Jawa Timur. Begitupun rupa Ganesha Panaitan, malah hiasan tubuhnya sangat berbeda.

Peninggalan benda-benda demikian di kawasan Jawa Barat lumayan banyaknya, persebaran dan keletakannya di atas puncak-puncak dataran tinggi, cukup.... menuntut rasa ingin tahu.

Tulisan dan laporan ahli-ahli Belanda tentang arca Jawa Barat, lebih banyak memberi predikat "tipe arca Pajajaran atau tipe arca Polinesia".

Mungkin ditinjau dari segi ketidaksempurnaan dan kesederhanaan dari penatahan wujud tubuh, rupa dan hiasan serta beberapa atribut lainnya.

Tipe yang demikian ini mendominan di sekeliling Jawa Barat dan ada kemiripan dengan ciri-ciri arca batu yang berserakan di kepulauan Polinesia.

Kesederhanaan wujud dan distribusi yang terbatas, ditambah lagi tidak terlalu banyak ditopang benda-benda bukti temuan lainnya, akhirnya menyulitkan analisa ciri seni dan tipologi dalam menelusuri kronologi benda bersangkutan, malah akhirnya ahli-ahli kita ikut-ikutan menyimpulkan identik dengan kedua tipe tersebut di atas.

"Beberapa ahli seni arca kolega saya, bingung menaksir arca Syiwa Panaitan. Benar-benar berlainan dengan Ikonografi (= ilmu arca) Hindu", demikian kata Edhie Wurjantoro SS — ahli sejarah kuno UI yang ikut ke sana juga.

Ganesha Panaitan

Bantuan andesit dibentuk rupa Ganesha, tinggi 89,5 cm dan lebar badan 69 cm, duduk di atas singgasana teratai (padmasana) seluas 54 cm.

Ganesha ini tidak mengenakan mahkota, hanya ada goresan 20 garis seakan-akan penggambaran rambut gondrong tersisir.

Tubuh gendutnya berhiaskan selendang dan bukan lilitan ular yang memilin tubuh dari bahu kiri. Keempat tangannya seperti posisi biasa, hanya tangan kiri depan tidak menggenggam kapak.

Mitologi Hindu mendongengkan putra sulung Syiwa dan Parwati sebagai lelaki tambun buncit dan berkepala gajah, katanya akibat ketulah lantaran Parwati waktu hamil kaget melihat kendaraan dewa Indra — yaitu seekor gajah!

Ganesha sendiri mempunyai binatang tunggangan, yaitu seekor tikus, ia selain disebut Gajanana(Muka Gajah)—masih dijuluki Ekadanta alias si Taring Tunggal, memang taring kanannya patah dan masih dicekal oleh tangan kanan depan, hal ini lantaran saking antusiasnya ia menyalin kitab Mahabrata selagi didikte oleh orang suci.

Betapapun nama dan rupa, Ganesha adalah tokoh dewa  yang populer, ia dipuja dan disenangi para penganutnya, karena tindakannya yang lembut dan tenang, lalu ia dicintai manusia dan lambang pembawa kesejahteraan.

Maling Arca

Bukan mainan baru lagi soal pencurian benda sejarah dan purbakala, seolah-olah sudah ada lingkaran setan yang melilit mapan antara pemesan, penadah, pembeli dan pelaksana pencurian.

Pencurian masih terus berlangsung, seakan-akan tidak ambil perduli segepok peraturan yang bersanksi seram dan menyakitkan.

Pokoknya kalau tak ada penjagaan atau kelengahan petugas penjaga, sikat terus! Lumayan suatu kerja sambilan yang bisa membuahkan duit mendadak banyak.

Kalau dilihat kedudukan Pulau Panaitan, daerah ini masih di bawah pengawasan Seksi PPA, juga alam sekeliling berupa arus dan gelombang bengis, sebenarnya sudah cukup menjamin ketenteraman isi pulau bersangkutan.

Rupanya susunan rencana pencurian ini cukup matang dan bermodal rada besar, karena pasti harus menggunakan kapal motor dan menyewa beberapa pelacak jalan yang pernah ke gunung ini.

"Arca Syiwa" cuman 70 cm dan ramping lagi, tidak sulit buat digondol, diangkut dan ditukarkan dengan lembaran rupiah.

Perihal ini benar-benar merupakan bulir kecil dari untaian aksi pencurian, sementara sejarah kebudayaan Indonesia belum rampung tersusun rapih dan kwiz "arca Pajajaran" belum terjawab benar, malah sudah berkurang lagi benda yang diharapkan dapat menopang pembuktian akan hasil kebudayaan manusia Indonesia jaman lampau.

Nasib Ganesha, bagaimana?

Kabarnya P. Panaitan akan dikonsesikan, lalu disusul dengan pengelolaan menjadi tempat plesir sambil menembak binatang.

Sang Ganesha nasibnya nanti bagaimana?

Idealnya arca ini tetap "in-situ" (tetap di keletakan sebenarnya), tetapi rasanya ngeri juga kalau didatangi pencuri dan menculik anak sulung Syiwa.

Ganesha memang berbobot batu cukup berat, tetapi orang sekarang akan lebih mudah menggendongnya turun — daripada orang dulu memikul naik ke puncak gunung.

Lagipula Ganesha ini lebih besar dan seram, tentu harganya jauh lebih mahal dan berkesan.

P4N — Dep. P&K (Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional) tentu sudah tahu soal ini, biasanya keluar alasan tentang kurangnya tenaga dan biaya untuk penjagaan hanya 2 arca batu (satunya sudah hilang), tetapi tanggung jawab nilai bukti benda sejarah ini, mau tak mau harus dicari jalan keluar yang otomatis menutup kemungkinan lebih besar buat pencurian selanjutnya.

Saat ini biarlah Ganesha bersemedi memelas doyong ke muka, sambil menunggu datangnya lagi manusia, mungkin mau melindungi dan menyelamatkan — atau mengajaknya turun gunung, langsung ditukarkan dengan lembaran uang — bisa saja terjadi!

(Ditulis oleh Rudy D. Badil. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1978)