Find Us On Social Media :

Arca Ganesha Penunggu Pulau Panaitan

By Moh Habib Asyhad, Minggu, 22 Oktober 2017 | 08:00 WIB

Ganesha sendiri mempunyai binatang tunggangan, yaitu seekor tikus, ia selain disebut Gajanana(Muka Gajah)—masih dijuluki Ekadanta alias si Taring Tunggal, memang taring kanannya patah dan masih dicekal oleh tangan kanan depan, hal ini lantaran saking antusiasnya ia menyalin kitab Mahabrata selagi didikte oleh orang suci.

Betapapun nama dan rupa, Ganesha adalah tokoh dewa  yang populer, ia dipuja dan disenangi para penganutnya, karena tindakannya yang lembut dan tenang, lalu ia dicintai manusia dan lambang pembawa kesejahteraan.

Maling Arca

Bukan mainan baru lagi soal pencurian benda sejarah dan purbakala, seolah-olah sudah ada lingkaran setan yang melilit mapan antara pemesan, penadah, pembeli dan pelaksana pencurian.

Pencurian masih terus berlangsung, seakan-akan tidak ambil perduli segepok peraturan yang bersanksi seram dan menyakitkan.

Pokoknya kalau tak ada penjagaan atau kelengahan petugas penjaga, sikat terus! Lumayan suatu kerja sambilan yang bisa membuahkan duit mendadak banyak.

Kalau dilihat kedudukan Pulau Panaitan, daerah ini masih di bawah pengawasan Seksi PPA, juga alam sekeliling berupa arus dan gelombang bengis, sebenarnya sudah cukup menjamin ketenteraman isi pulau bersangkutan.

Rupanya susunan rencana pencurian ini cukup matang dan bermodal rada besar, karena pasti harus menggunakan kapal motor dan menyewa beberapa pelacak jalan yang pernah ke gunung ini.

"Arca Syiwa" cuman 70 cm dan ramping lagi, tidak sulit buat digondol, diangkut dan ditukarkan dengan lembaran rupiah.

Perihal ini benar-benar merupakan bulir kecil dari untaian aksi pencurian, sementara sejarah kebudayaan Indonesia belum rampung tersusun rapih dan kwiz "arca Pajajaran" belum terjawab benar, malah sudah berkurang lagi benda yang diharapkan dapat menopang pembuktian akan hasil kebudayaan manusia Indonesia jaman lampau.

Nasib Ganesha, bagaimana?

Kabarnya P. Panaitan akan dikonsesikan, lalu disusul dengan pengelolaan menjadi tempat plesir sambil menembak binatang.

Sang Ganesha nasibnya nanti bagaimana?

Idealnya arca ini tetap "in-situ" (tetap di keletakan sebenarnya), tetapi rasanya ngeri juga kalau didatangi pencuri dan menculik anak sulung Syiwa.

Ganesha memang berbobot batu cukup berat, tetapi orang sekarang akan lebih mudah menggendongnya turun — daripada orang dulu memikul naik ke puncak gunung.

Lagipula Ganesha ini lebih besar dan seram, tentu harganya jauh lebih mahal dan berkesan.

P4N — Dep. P&K (Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional) tentu sudah tahu soal ini, biasanya keluar alasan tentang kurangnya tenaga dan biaya untuk penjagaan hanya 2 arca batu (satunya sudah hilang), tetapi tanggung jawab nilai bukti benda sejarah ini, mau tak mau harus dicari jalan keluar yang otomatis menutup kemungkinan lebih besar buat pencurian selanjutnya.

Saat ini biarlah Ganesha bersemedi memelas doyong ke muka, sambil menunggu datangnya lagi manusia, mungkin mau melindungi dan menyelamatkan — atau mengajaknya turun gunung, langsung ditukarkan dengan lembaran uang — bisa saja terjadi!

(Ditulis oleh Rudy D. Badil. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1978)