Penulis
Intisari-Online.com - Di Kota Medan, Sumatera Utara, Personel Direktorat Kriminal Reserse Umum Polda Sumut melakukan penggerebekan oknum pembuat SIM palsu.
SIM bekas disulap menjadi SIM baru dengan data pesanan. Untuk SIM C dipatok harga Rp450.000 per lembar, SIM A Rp600.000 dan SIM B dihargai Rp650.000.
Para pelaku mendapatkan SIM bekas tersebut diduga dari seorang anggota Polri yang tinggal serumah dengan dua pelaku lain.
Apakah ujian untuk mendapatkan SIM sesulit itu sehingga masyarakat lebih memilih ‘nembak’ untuk mendapatkan surat ijin berkendara?
Kebanyakan pemohon SIM akan mengalami kesulitan saat ujian praktik.
Bagi pemohon SIM C, kesulitan paling banyak dialami saat mengikuti rintangan angka ‘8’.
Dalam ujian praktik membuat SIM C, peserta harus melewati jalur-jalur yang sudah ditentukan.
Pola garis lurus, zig-zag dan angka ‘8’ harus dilewati dengan kecepatan dan keseimbangan sehingga tidak menyenggol atau menjatuhkan balok yang sudah disusun di arena ujian.
Kaki tidak boleh turun dari pedal saat kendaraan melaju, demikian juga di beberapa jalur, penggunaan rem tidak diperbolehkan.
Jika gagal, peserta ujian SIM harus mengulang kembali minggu depan.
Jasa calo pun menjadi alternatif karena tidak membuang waktu meskipun harus membayar lebih mahal.
Tanpa harus takut gagal, SIM jadi langsung dalam satu kali kunjungan.
Meskipun peraturan pemerintah tentang penghentian penggunaan jasa calo sudah digalakkan, kebiasaan instan tak bisa dihentikan seketika.
Memang menjadi lebih mudah dan cepat dengan jasa calo, namun menggunakan calo berarti Anda sedang melakukan praktik korupsi.
Bagaimana sebaiknya pemerintah maupun masyarakat menyikapi hal ini?
(Natalia Mandiriani)