Intisari-Online.com - Salam. Pagi ini saya melihat foto di halaman depan sebuah koran besar nasional yang menunjukkan seorang pengendara sepeda motor sedang berusaha mengeluarkan motornya dari dalam lubang di pinggir jalan di daerah Serpong, Tangerang Selatan.
Belum lama ini juga saya melihat seorang pejalan kaki tertabrak oleh sebuah mobil saat pejalan kaki ini berjalan di jalan raya.
Saat ditanya, pejalan kaki ini mengaku terpaksa berjalan di jalan raya karena trotoar yang rusak, bahkan di beberapa titik ada galian yang menutupi trotoar.
Ada juga beberapa cerita serupa yang pada intinya menunjukan sebuah kecelakaan yang, menurut saya, terjadi karena pengelola jalan (dalam hal ini pemerintah) lalai dalam menjalankan tugasnya.
"Membiarkan" pengendara motor atau pejalan kaki tadi mengalami kecelakaan.
Terkait dengan hal tersebut, apakah pengendara motor atau pejalan kaki tersebut dapat menuntut pengelola jalan alias pemerintah atas kecelakaan yang menimpa dirinya yang sepertinya disebabkan lalainya pengelola jalan atau pemerintah dalam menjalankan tugasnya?
Jika bisa, bagaimana prosedurnya?
Terima kasih.
Ade-Jakarta
Jawaban
Terima kasih atas pertanyaan saudara.
Kecelakaan lalu lintas bukan lagi hal langka di kehidupan masyarakat modern yang memiliki mobilitas tinggi, khususnya di kota-kota besar.
Masyarakat sekarang cenderung menggunakan moda transportasi untuk memudahkan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain, yang menyebabkan berkembangnya jumlah pengguna moda transportasi.
Secara otomatis memberikan dampak pada peningkatan resiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Tidak hanya disebabkan oleh membeludaknya pengguna jalan, kecelakaan lalu lintas juga banyak disebabkan oleh ketidaklayakan badan jalan untuk digunakan oleh pengguna jalan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ), yang dimaksud dengan kecelakaan lalu lintas adalah:
“suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.”
Pasal tersebut menentukan bahwa kecelakaan dapat mengakibatkan korban manusia, dan/atau kerugian harta benda. Dampak dari kecelakaan tersebut dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 229 ayat (1) UU LLAJ, yaitu:
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.”
Kecelakaan Lalu Lintas Ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang (Pasal 229 ayat (2) UU LLAJ).
Kecelakaan Lalu lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang (Pasal 229 ayat (3) UU LLAJ), dan Kecelakaan Lalu Lintas Berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat (Pasal 229 ayat (4) UU LLAJ).
Sedangkan kecelakaan-kecelakaan tersebut dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklayakan Kendaraan, serta ketidaklayakan Jalan dan/atau lingkungan. (Pasal 229 ayat (5) UU LLAJ).
Pasal 22 UU LLAJ menyatakan bahwa,
(1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan layak fungsi jalan secara teknis dan administratif.
(2) Penyelenggara jalan wajib melaksanakan uji kelayakan fungsi jalan sebelum pengoperasian jalan
(3) penyelenggara jalan wajib melakukan uji kelayakan fungsi jalan pada jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan”
Kewajiban penyelenggara jalan dalam peranannya untuk tugas perbaikan jalan ditegaskan dalam pasal 24 UU LLAJ yang berbunyi,
(1) Penyelenggara jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.
(2) dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan jalan yang rusak sebagaimana pada ayat (1), penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas”
Jelas dalam peraturan ini bahwa penyelenggara jalan dibebankan kewajiban untuk segera melakukan perbaikan pada jalan yang rusak, minimum memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak tersebut. Kewajiban pemerintah dalam melaksanakan penyelenggaraan jalan di cantumkan juga dalam pasal 238 ayat (1) dan ayat (2) UU LLAJ ;
(1) pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan Prasarana lalu lintas yang menjadi penyebab kecelakaan.
(2) pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan penanganan kecelakaan lalu lintas”
Selain itu, Pasal 240 UU LLAJ mengatur bahwa Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan: ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.
Dengan demikian, apabila kecelakaan terjadi dikarenakan ketidaklayakan jalan, maka yang bertanggung jawab adalah pihak yang bertugas menyediakan kelayakan jalan bagi para pengguna jalan, yaitu Pemerintah selaku Penyelenggara Jalan.
Kewajiban Penyelenggara jalan, antara lain menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab kecelakaan (Pasal 238 ayat (1) UU LLAJ)
Korban dari kecelakaan lalu lintas dapat menuntut Penyelenggara Jalan secara Pidana, baik itu dalam kecelakaan lalu lintas ringan, sedang, maupun berat. (Pasal 230 UU LLAJ).
Atas tuntutan Pidana, Penyelenggara Jalan dapat dikenakan sanksi Pidana sebagaimana ditentukan dalam UU LLAJ berikut ini:
Pasal 273 UU LLAJ
(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
(4) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).”
Selain Pidana, korban kecelakaan lalu lintas yang disebabkan ketidaklayakan jalan juga berhak mengajukan ganti kerugian kepada Penyelenggara Jalan melalui gugatan perdata, yang besaran ganti kerugiannya ditentukan oleh Putusan Pengadilan. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (1) UU LLAJ, yang menyatakan:
“Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.”
Permintaan ganti kerugian juga dapat dilaksanakan diluar pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 236 ayat (2) UU LLAJ, yang menyatakan:
“Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.”
Demikian penjelasan kami, semoga dapat membantu menjelaskan permasalahan anda. Terima kasih atas perhatiannya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron