Advertorial

Kisah Dokter Militer yang Ditugaskan dalam Misi Trikora untuk Membebaskan Irian Barat: Pernah Harus 'Menukar' Bayi dengan Babi

Ade Sulaeman

Editor

Meski terlibat dalam misi perang, kisah yang disampaikan tak melulu heroik, ada pula kisah-kisah lucu.
Meski terlibat dalam misi perang, kisah yang disampaikan tak melulu heroik, ada pula kisah-kisah lucu.

Intisari-Online.com – Jadi tentara ternyata tak gampang. Apalagi kalau ditempuh lewat jalur wajib militer.

Dr. S. Sabaruddin menuliskan peagalamannya yang menarik dan terkadang lucu ketika ia memilih menfadi dokter tentara lalu ditugaskan dalam misi trikora, merebut Irian Barat dari tangan Belanda.

Pada Juni 1961 saya lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Waktu itu ada tiga pilihan bagi dokter muda: belajar lagi untuk mengambil spesialisasi, menjadi dokter wajib militer untuk bekerja di daerah, atau menjadi dokter sipil, yang juga bekerja di daerah.

Pikir punya pikir pilihan saya jatuh pada dokter wajib militer (wamil).

Dasar wamil!

Ada 115 orang yang terkena wajib militer Angkatan Darat angkatan kelima itu. Mereka berasal dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Ada yang dokter, apoteker atau dokter hewan.

Kami yang terkena wajib militer menerima pendidikan basis-kemiliteran selama enam bulan di Pusat Kesehatan Angkatan Darat di Kramat Jati, Jakarta.

Rambut kami dicukur plontos model crew cut. Kami, yang umumnya kutu buku, sedikit pucat karena kurang terkena sinar matahari. Badan nampak kurus. Pakaian seragam hijau-hijau yang kami kenakan jadi kelonggaran.

Salah seorang sejawat kami selama tiga minggu malah tidak memakai seragam. Sebab tidak ada baju dan sepatu yang cocok dengan badannya yang ekstra tinggi dan besar.

Padahal kalau berbaris dia selalu ditempatkan di deretan paling depan sebelah kanan.

Kalau kami latihan di luar asrama, macam-macam saja komentar penduduk yang kami dengar. Ada yang mengira kami tentara Korea yang kalah perang. Sebagian dari kami tampangnya memang mirip orang Korea.

Setelah enam bulan berlatih, kami sudah seperti tentara profesional layaknya. Tapi, meski sudah dilatih berulang-uiang, tetap saja ada yang kacau ketika harus berbaris.

Ketika kaki kiri melangkah maju, pada saat yang sama lengan kiri melenggang ke depan. Gerakannya jadi megal-megol bikin geli, mirip bebek mau bertelur.

Padahal anak kecil pun tahu, orang berbaris 'kan tidak begitu.

Ada lagi yang masih juga amatiran. Kalau mendengar aba-aba balik kanan, dia jadi gugup sehingga terlambat menghitung langkah tu-wa-ga itu.

Tak pelak ia selalu menabrak teman di depannya yang sudah berbalik, ... gabrus!

Dari 115 peserta, saya lulus dengan nomor urut satu. Bukan apa-apa, tetapi karena banyak yang sengaja mengelak jangan sampai masuk kelompok sepuluh besar.

Itu bukan tanpa alasan. Waktu itu Presiden RI Bung Karno, baru saja mengumumkan Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk merebut Irian Barat (sekarang Irian Jaya) dari tangan Belanda.

Dengan pangkat letnan satu CDM (Corps Dokter Militer), kami disebar ke daerah, ke pasukan dan sebagainya.

Sementara itu mereka yang termasuk dalam kelompok sepuluh besar, mendapatkan latihan; tambahan, antara lain terjun payung.

Mungkin meluncur dari tempat ketinggian dengan parasut inilah biangnya. Dasar wamil!

Nyaris telanjang

Pada bulan Juni 1962, saya ditugaskan direktur Kesehatan Angkatan Darat untuk bergabung dengan satu peleton pasukan khusus RPKAD.

Tugasnya menyusup ke Irian Barat dengan kapal selam. Pasukan kami disebut tim Lumba-lumba, dipimpin oleh Kapten Dolf Latumahina.

Setelah menerima briefing di Ambon, oleh Pak Harto sebagai Panglima Mandala, kami diberangkatkan dengan tiga kapal selam pimpinan Mayor Tedy Asikin (almarhum), menuju pantai barat bagian utara Irian Barat.

Setiap kapal selam hanya mampu menampung 15 orang anggota pasukan. Di dalam kapal selam buatan Rusia yang biasanya mangkal di Wladiwostok ini, terasa panas sekali.

Kapal selam itu memang dipersiapkan untuk daerah dingin. Untuk mengurangi kegerahan kami hanya mengenakan celana dalam dan singlet saja.

Setiap 3-6 jam kapal selam ini menyembul ke permukaan air untuk mengganti udara bersih. Di dalam kapal selam, kami tidak boleh banyak bergerak. Dilarang banyak bicara.

Juga tidak boleh merokok. Itu semua untuk menghemat oksigen. Nah, pada waktu kapal selam menyembul ke permukaan, kami secara bergantian boleh naik ke anjungan untuk menghirup udara segar.

Kesempatan ini sering kali juga digunakan untuk membuang hajat karena memang WC-nya berada di luar, berhubungan langsung dengan laut bebas.

Namun ketika sudah memasuki perairan Irian Jaya, kami hanya muncul ke permukaan pada jam-jam tertentu untuk saling berkomunikasi dengan kapal induknya, yang berpangkalan di Pulau Morotai.

Selain sekaligus untuk mengganti udara bersih, juga mendengarkan berita dari RRI Jakarta dan Radio Australia.

Yang kami dengar dari siaran radio tersebut waktu itu, Jakarta sedang sibuk dengan penyelenggaraan Asian Games dan diplomasi Indonesia mengenai Irian Barat.

Misi yang kami emban pada waktu,itu ialah menyusup dan memberi pelayanan kepada masyarakat setempat.

Oleh karena itu dalam tim kami antara lain terdapat seorang dokter, dua orang mantri kesehatan, dua orang sarjana sosial-politik, dan seorang perwira Zeni.

Dengan kapal selarn, tiap orang hanya boleh membawa dua setel pakaian seragam dan dua setel pakaian dalam. Selain itu juga ponco, kelambu kepala, handuk dan lain lain dalam satu ransel punggung.

Tapi ransel saya dan juga kedua mantri tadi, kami penuhi dengan minor surgery set (peralatan bedah) dan obat-obatan. Sebaliknya, anggota RPKAD lainnya memenuhi ranselnya dengan amunisi.

Ditawan musuh

Setelah beberapa hari "disekap" dalam kapal selam, kami tiba di titik sasaran. Dari kapal selam kami diterjunkan ke perahu karet 2 mil laut dari pantai. Tiap perahu karet berisi lima orang anggota pasukan.

Kami diberi petunjuk, harus mendarat sekian derajat dari titik awal. Maka berdayunglah kami -ke arah sasaran di darat.

Jarak 2 mil laut itu kami tempuh dalam waktu dua jam, karena harus melawan ombak, menghindari kelompok ikan hiu dan pantai yang curam sehingga harus sedikit mengubah haluan.

Ketika kami mendarat di pantai, di sana telah menunggu anggota pasukan yang datang lebih dulu. Bersama dengan mereka kami lalu menyusup ke perkampungan penduduk.

Penduduk yang kami jumpai ternyata tidak bersikap bermusuhan. Laki-lakinya berkulit hitam, bertelanjang dada, berambut ikal dan mengunyah sirih.

Mereka sukar diajak berkbmunikasi dalam bahasa Indonesia. Belakangan baru kami ketahui bahwa kami hanya didaratkan di Pulau Ternate sebagai latihan akhir.

Giliran waktu pendaratan yang sesungguhnya, kami disambut oleh pesawat Neptune Belanda yang dilengkapi dengan bom antikapal selam.

Setiap kali kami akan mendarat, selalu tertangkap radar Belanda dan pesawat Neptune segera datang. Kelak kami ketahui bahwa pulau yang dipakai sebagai check point dilengkapi dengan radar.

Setiap diburu Neptune, kami melarikan diri ke perairan bebas. Sehingga dengan sendirinya selama berjam-jam kapal kami tidak dapat menyembul untuk mengganti udara bersih.

Dalam keadaan demikian, sebagai sumber oksigen digunakan suatu alat yang bisa menyerap karbon dioksida dan mengeluarkan oksigen.

Alat ini hanya bisa bertahan selama tiga jam dan sesudah itu harus diganti dengan yang baru.

Namun, alat itu tidak bisa membersihkan karbon dioksida secara tuntas. Akibatnya setelah menyelam sepuluh jam kadar karbon dioksida menjadi demikian tinggi sampai dua orang anggota pasukan kami pingsan.

Itu terjadi pada waktu kami dikejar Neptune dan terpaksa berhenti dengan mematikan mesin agar tidak terdeteksi oleh musuh.

Beberapa hari setelah pendaratan, tiga orang anggota pasukan tertawan pihak marinir Belanda. Di antaranya seorang mantri kesehatan, seorang sarjana sosial politik yang disiarkan oleh Radio Australia sebagai doktor kerakyatan.

Akibatnya, keluarga saya dan teman-teman di Jakarta menyangka saya ikut tertawan. Untunglah, diplomasi di PBB berhasil dan gencatan senjata dapat dilaksanakan segera.

Bayi ditukar babi

Selama masa Trikora kesibukan yang luar biasa nampak di Indonesia bagian Timur. Mulai dari Ujungpandang, Bitung, Morotai sampai Ambon.

Pasukan dan kapal perang dikerahkan ke sana. Ada sebuah kapal yang dipersiapkan sebagai rumah sakit berjalan dan juga membawa peti mati di geladaknya.

Selama di Irian Jaya, saya bertugas di Kota Baru (sekarang Jayapura), P. Biak, dan terakhir di Sorong. Selain di rumah sakit tentara, saya juga bertugas di rumah sakit umum dan mengajar di SMA Negeri, yang saat itu baru sampai kelas satu.

Sebagai dokter muda di Rumah Sakit Sorong, saya mendapat bantuan yang sangat berharga dari mantri kepala dan juga putra daerah, dalam menangani kasus-kasus gawat darurat akibat perkelahian manusia dengan manusia, manusia dengan binatang buas atau ikan.

Kalau tidak cepat diselesaikan perkaranya, entah apa jadinya saya ini. Ceritanya begini. Suatu hari saya kedatangan seorang wanita yang mengalami kesulitan bersalin karena bayinya melintang.

Dia datang dari suatu pulau yang memakan waktu dua hari perjalanan dengan perahu. Akhirnya, bayi dapat dilahirkan dengan jalan operasi tapi sudah meninggal. Sedangkan ibunya selamat.

Tapi persoalan belum beres sampai di situ. Timbul salah paham antara keluarga pasien dengan pihak rumah sakit.

Dalam hal ini saya sebagai dokter yang menangani persalinan itu, dianggap sebagai penyebab kematian bayi tadi.

Tuntutan mereka itu yang bikin saya keder: nyawa harus dibayar dengan nyawa. Untung saja persoalan ini bisa diselesaikan secara damai oleh mantri kepala dan seorang pendeta, setelah pihak rumah sakit memberikan seekor babi kepada si pasien.

Lampu biru nyaris bikin buta

Ini pengalaman unik lain lagi, ketika kami baru saja mengambil alih rumah sakit tentara dari pihak Belanda.

Seorang anggota pasukan mengambil lampu berwama biru sebagai lampu tidur. Esok harinya anggota tersebut bersama teman sekamarnya datang ke rumah sakit dengan kedua matanya sembab.

Ternyata kedua orang ini tidur dengan lampu ultraviolet, untung tidak sampai buta.

Sebelum mengakhiri tugas di Irian Jaya, saya bersama pengganti saya, Kapten dr. Aryoko, mengumpulkan dan mengidentifikasi jenazah para pahlawan Trikora yang dimakamkan oleh penduduk setempat di berbagai lokasi yang terpencar di mana-mana.

Ada kalanya dengan mudah kami mengenali "jenazah" mereka, karena penduduk menyimpan benda-benda yang terdapat di pakaian mereka.

Ada pula yang dikebumikan berikut baju loreng, sepatu dan kopel rim yang biasanya bertuliskan nama dan golongan darah yang bersangkutan.

Umumnya kopel rim dan sepatu masih utuh, walaupun jenazah sudah tinggal tulang belulang saja.

"Jenazah-jenazah" ini dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Sorong yang diresmikan pada 10 November 1963.

Saya dipulangkan ke Jakarta bulan Januari 1964. Beberapa saat kemudian saya mendapat berita duka, Kapten dr. Aryoko gugur di medan tugas.

Untuk mengenang jasa-jasanya rumah sakit tentara di Jayapura sekarang diberi nama RST Dokter Aryoko.

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1992)

Artikel Terkait