Intisari-Online.com – Masyarakat di kampung kelahiran ayah saya di Lampung punya keunikan dalam merayakan Lebaran.
Seusai melakukan salat led, setelah bersalam-salaman dengan orang sekeliling, para bapak membentuk kelompok sendiri, begitu juga para bujangan dan anak-anak.
Mereka semua akan berkeliling ke seluruh rumah yang berada di kampung. Akan halnya para ibu dan anak gadis cepat-cepat pulang ke rumah untuk menyiapkan makanan.hidangan
Menuruti aturan main, yang pertama-tama bertandang adalah kelompok para bapak yang langsung menuju ke rumah yang letaknya di pinggir kampung.
Tuan rumah biasanya sudah menyiapkan berupa nasi yang ditaruh di piring, berikut opor ayam, gulai ikan, gulai daging, aneka juadah kering dalam stoples, dodol ketan hitam, dan kue lapis legit.
(Baca juga: Cek Kesehatan Setelah Lebaran)
Hidangan ketupat tidak dikenal di situ.
Sehabis bersalaman di beranda rumah atau di tangga (karena kebanyakan rumahnya berbentuk rumah panggung), para tamu langsung "menyerbu" hidangan.
Semua hidangan itu ditata di atas tikar yang digelar memenuhi ruang tengah.
Bila ruang tengah cukup besar, semua bapak bisa makah sekaligus. Namun, jika ruang tamunya kurang besar, sebagian bapak menunggu giliran dengan merokok dan mengobrol.
Tak heran, karena jumlah tamunya bisa sampai 40 orang.
(Baca juga: Setelah Lebaran Usai Saatnya Hidup Sehat)
Rumah yang didatangi pertama biasanya paling banyak kehabisan hidangan. Maklum, sebagian bapak-bapak pasti makan di situ.
Di rumah berikutnya, rombongan juga disuguhi penganan. Namun para tamu biasanya sudah terlalu kenyang untuk makan besar, sehingga biasanya tinggal mencicipi kue saja.
Begitu rombongan para bapak meninggalkan rumah pertama, rombongan bujangan menyusul kira-kira lima sampai sepuluh menit kemudian. Tuan rumah cukup sibuk.
Soalnya, aneka tumpukan piring bekas makan bapak-bapak harus cepat-cepat ditangani untuk bisa dipakai lagi untuk melayani rombongan bujangan.
Rombongan bujangan masih beruntung, karena makanan masih cukup lengkap. Yang celaka rombongan anak-anak yang datang belakangan.
Selain tuan rumah sudah kelelahan, hidangan pun sudah tak lengkap. Jadilah tamu-tamu cilik itu menerima "sisa-sisa" orang tua dan abang-abang mereka.
Pukul 11.00 barulah ada tamu lagi, yakni rombongan para ibu dan gadis-gadis atau kerabat lain kampung.
Ciri khas lain dalam berlebaran di kampung ayah saya adalah kegiatan selepas tengah hari. Sekitar pukul 13.00, sungai yang mengalir di belakang kampung dipenuhi para warga yang kepanasan.
Banyak yang pergi berendam atau berenang/tak peduli dia bapak-bapak; bujangan, anak-anak, ataupun ibu-ibu • (Nazaruddin) .
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1997)