"Mengingat pula apa yang diuraikan di atas itu, yakni mangsa kesatu jatuh dalam bulan Juni (bulan panen axau bulan setelah panen), kita kira kemungkinan tidak sedikit, jika nama Jayakarta diberikan pada tanggal satu, mangsa kesatu, yaitu pada bulan Juni, tanggal 22, tahun 1527. Harinya yang pasti kita tidak dapat mertemukannya."
Diterima pemerintah daerah, dibantah ilmuwan lain
Demikian cara Prof. Sukanto menduga hari lahir Kota Jayakarta-Jakarta. Teori itu kemudian diterima baik Pemerintah Daerah Jakarta Raya, sehingga secara resmi ditetapkan tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari lahir resmi Jakarta.
Namun dalam bidang ilmiah, diskusi berjalan terus. Prof. Hussein Djajadiningrat yang terkenal sebagai sarjana Islamologi bertaraf internasional, rupa-rupanya tidak bisa menerima teori Prof. Sukanto yang terkenal sebagai sarjana hukum adat dan yang juga terkenal sampai ke luar batas tanah air.
Prof. Hussein, justru bertolak dari praanggapan bahwa Fatahillah (Faletehan) sebagai seorang ulama besar yang sedang menyebarkan Islam, tentunya akan memakai setiap kesempatan untuk mengajukan segala sesuatu yang berjiwa atau bersangkutan dengan Islam.
Pastilah prajurit- prajurit yang dibawanya di dalam tentara ekspedisinya merupakan orang-orang pilihan yang telah terkenal semangat keislamannya.
Karena itu, menurut Prof. Hussein, Fatahillah justru akan memakai hari raya Islam sebagai cantelan bagi hari lahir Jayakarta, bukan hari raya adat.
Bahkan nama Jayakarta itu sendiri adalah hasil inspirasi daripada sejarah Islam. Kiranya Fatahillah teringat akan peristiwa pembebasan Mekah oleh Nabi Muhammad dari tangan suku Quraisj.
Pada kesempatan itu Allah menyampaikan wahyu kepada Nabi yang berbunyi: "Inna fatahna laka fathan mubinan." (Sesungguhnyalah telah Aku berikan kepadamu suatu kemenangan yang jelas).
Fathan mobinan artinya bersamaan dengan Jayakarta.
Adapun hari raya Islam yang terdekat, menurut Prof. Hussein, adalah Maulid Nabi, 12 Rabi'ulawwal, yang jatuh pada tanggal 1 Juni 1527.
Terjepit dua gajah
Cerita ini sebenarnya bisa diakhiri di sini. Namun saya ingin memberi post sciptum. Baik Prof. Hussein Djajadiningrat maupun Prof. Sukanto adalah guru besar saya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Secara ilmiah, kedua teori itu tidak begitu kuat, karena tidak dilandaskan pada fakta yang kuat pula. Sifatnya hanyalah suatu dugaan belaka.
Namun agak sukar bagi seorang mahasiswa untuk menyatakan hal itu kepada guru besarnya, apalagi jika guru besar itu sedang mengujinya.
Justru hal itulah yang saya alami. Pada ujian doktoral akhir saya, Prof. Sukanto menjadi ketua panitia ujian dan hal yang saya khawatirkan terjadi.
Dalam ujian itu beliau menanyakan: di antara kedua teori tentang hari lahir Jayakarta itu, mana menurut pendapat saya yang benar.
Saya memberanikan diri memberi jawaban seperti yang sudah saya uraikan di atas, yaitu bahwa kedua teori itu tidak kuat, sehingga saya sendiri belum bisa menerimanya sebagai fakta sejarah.
Ketika itu keringat dingin saya sudah mulai bercampur dengan keringat panas. Namun syukurlah Prof. Sukanto dapat menerima jawaban saya itu, sehingga ujian berakhir dengan selamat.
Setiap tahun, saya ikut merayakan hari ulang tahun Kota Jakarta dengan terkenang pada almarhum kedua guru besar saya. (Nugroho Notosusanto. Almmhum Prof. Nugroho Notosusanto adalah seorang sejarawan yang pemah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.)
(Seperti pernah dimuat di Buku Ketoprak Betawi – Intisari)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR