Advertorial

Pemberontakan di Kapal Zeven Provincien, Kemudi Macet Akibatkan Awak Kapal Gugur

K. Tatik Wardayati
,
Aulia Dian Permata

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Selang beberapa lama kemudian beberapa perwira menyadari bahwa aksi itu sungguh-sungguh akan dijalankan dan bahwa kapal akan dilarikan ke Surabaya. Mereka beranggapan bahwa mereka harus bertindak. Enam orang dipimpin oleh perwira jaga, menyelinap dalam kepekatan malam akan mengadakah serangan mendadak terhadap menara komando.

Baru setengah jalan pemimpin kelompok menyalakan senternya, ternyata mereka sudah dinantikan oleh lawan bersenjata yang lebih besar jumlahnya! Penjaga-penjaga itu segera meneriakkan "Serangan!" yang dijawab dengan perintah "Tembak!"

Tembakan ternyata tidak diarahkan ke sasaran, melainkan melewati kepala. Tetapi itu cukup membuat jera, sehingga pemimpin mereka memutuskan untuk mengundurkan diri lagi ke belakang lindungan pintu besi.

Yang bisa dilakukan ialah menyabot kemudi kapal agar tak dapat dikemudikan. Ketika jangkar dinaikkan, dengan tangkas awilarang menggunakan mesin kiri dan kanan mesin sebagai gantinya kemudi.

Baca Juga : Dari Hindia Belanda Hingga Menjadi Indonesia, Ternyata Beginilah Asal-usul Nama Indonesia

Dengan cara itu kapal tetap dapat meninggalkan pelabuhan. Walaupun belum semua sekoci dinaikkan, kapal tetap berangkat dengan menyeret sekoci-sekoci itu.

Kemudi yang macet itu dapat dibebaskan dengan merusak gembok, sehingga pada pukul dua pagi kapal itu berlayar ke arah barat laut dengan kecepatan 7 knot. Sementara itu diadakan perundingan gencatan senjata.

Kedua perwira yang ditawan dikembalikan kepada rekan-rekannya. Delegasi kaum pembangkang yang terdiri dari Paradja, Jan de Regelaar, Hendrik dan dua orang marinir memasuki ruang makan perwira.

Mereka menyatakan bahwa mereka hanya melakukan aksi protes, yang diakibatkan oleh penurunan gaji dan ingkar janji oleh atasan. Keinginan mereka hanya berlayar ke Surabaya untuk memperkuat unjuk perasaan mereka.

Baca Juga : Ratu Belanda Disebut Ningrat yang Paling Merakyat, Ini Asal Mula Julukan Tersebut

Juga disangkal dengan tegas adanya kecenderungan komunis dan dinyatakan bahwa tidak akan digunakan kekerasan senjata. Pintu besi harus tetap terbuka dan masing-masing pihak boleh menempatkan penjaga bersenjata.

Aldebaren diusir

Ming'gu pagi, tanggal 5, kapal Aldebaren yang mengikuti dari jarak 10 mil, melihat kapal Zeven pada pukul 8.30. Sejam kemudian Aldebaren mendekat sampai jarak 5 mil laut atau 9 km, lalu mengisyaratkan "Kami ingin bicara".

Sambil menunggu ia maju lagi sampai jarak 3 mil laut, Zeven mengarahkan meriam-meriam 7,5 cm ke Aldebaren. Kawilarang yang berada di menara komando melarang menembak. Mereka mengusir Aldebaren dengan isyarat "Saya akan menembak semua kapal yang lewat di sisi".

Baca Juga : Dari 'Lahir Telanjang' Hingga 'Kutu Busuk', Arti Nama Orang-orang Belanda Ini Bikin 'Senewen' Pemiliknya Sendiri

Aldebaren memperbesar jaraknya, sehingga di luar jangkauan tembakan meriam-meriam kecil Zeven, lalu mengirim kawat ke Panglima AL: "Mengikuti Zeven sejak pukul 8.30, mencoba hubungan, dijawab dengan ancaman akan ditembak."

Sementara itu pelayaran menuju Surabaya dilanjutkan terjadi kawat-mengawat. Dari Zeven dikawatkan: "Dengan persetujuan para perwira kami memutuskan untuk berlayar sendiri ke Surabaya, Aldebaren boleh mengikuti. Kami takkan memakai senjata bila tak terpaksa. Satu hari sebelum masuk pelabuhan komandan dan perwira akan diterima dengan hormat."

Sebaliknya, mereka disuruh menyerahkan kembali kepada komandan dan memutar haluan kembali ke Oleh-leh. Senjata-senjata mereka harus diserahkan dengan sekoci ke Aldebaren sebagai prasyarat.

Keesokan harinya tertangkap berita radio yang bunyinya: "Eskader, kapal-kapal dan pesawat terbang ditarik ke arah barat untuk mengiringi dan menjaga Zeven."

Baca Juga : Di Tengah Gencatan Senjata, Belanda Hampir Saja Melakukan Agresi Militer Ketiga

Sementara itu pemerintah Hindia Belanda juga memperingatkan kapal-kapal agar menjauhi kapal yang dianggap sedang berontak itu. Anak buah kapal tersinggung menangkap siaran itu. Seakan-akan mereka melakukan pembajakan dan akan membajak kapal-kapal lain yang lewat, sehingga mereka mengeluarkan pertanyaan:

"Kapal Zeven untuk sementara diambil alih oleh anak buah kapal, tiada yang luka, semuanya berjalan seperti biasa. Berlayar menuju Surabaya, tak bermaksud melakukan kekerasan, tetapi memprotes penurunan gaji dan penangkapan anggota AL di Surabaya; semuanya berjalan baik di kapal."

Sewaktu diamati berlayar sepanjang pantai barat Sumatra pemerintah Hindia Belanda hampir panik. Mereka takut kapal yang dilarikan itu akan menembaki pelabuhan Padang. Kalau hal itu terjadi mereka khawatir seluruh rakyat akan berontak melawan Belanda dengan serentak.

Panglima AL buru-buru mengirimkan kapal Gouden Leeuw dan sejumlah pesawat terbang ke Padang untuk menggagalkan serangan itu. Para pimpinan pembangkang di kapal tadinya memang mempertimbangkan untuk menyinggahi Padang, karena kekurangan persediaan air minum, tetapi rencana itu dibatalkan sebab dianggap terlalu berbahaya.

Baca Juga : Kisah Kepahlawan Tiga Tokoh AURI Yang Pesawatnya Ditembak Jatuh Belanda di Langit Yogyakarta

Dikepung dan dihadang

Ternyata kapal Zeven telah melewati Selat Siberut, sehingga Padang dianggap telah bebas dari bahaya. Gouden Leeuw diperintahkan untuk menggabungkan diri dengan Eridanus, yang sejak lama menggantikan Aldebaren membuntuti Zeven.

Kini kekuatan Angkatan Laut dipusatkan untuk menghadang Zeven di sebelah barat Selat Sunda, dengan maksud agar kapal itu tidak bisa lewat.

Di sini timbul lagi ketakutan bahwa kapal Zeven akan membom, Batavia dengan meriam-meriamnya, karena itu harus dicegah memasuki Selat Sunda.

Pada tanggal 7 Februari eskader mencapai Surabaya dan hari berikutnya sudah sampai di Tanjung Priok. Pada hari yang sama tiba kelompok kedua pesawat Dornier dari Surabaya. Kelompok ketiga dan terakhir tiba tanggal 9.

Baca Juga : Ketika Jepang Sudah Angkat Kaki, Belanda Ingin Kuasai Indonesia Lagi, Tapi Mereka Salah!

Pesawat-pesawat air buatan Jerman itu dipusatkan di pelabuhan Teluk Betung, sedang kapal-kapal selam sudah sejak tanggal 8 dikirimkan ke Selat Sunda.

Eskader itu diberangkatkan tanggal 9 Februari pukul 9 pagi dari Priok ke Selat Sunda dengan kecepatan 13 mil. Pada tanggal 10 Februari pukul 4 pagi penjelajah HMs Java yang disiapkan untuk pertempuran, pada pukul 6.09 terlihat di mulut barat Selat Sunda.

Jangan halangi kami

Tiga buah pesawat Dornier diberangkatkan dari Teluk Betung. Sebuah tak berhasil mengudara, sebuah lagi terpaksa mengadakan pendaratan darurat, sehingga tinggal sebuah saja yang beroperasi.

Penerbang Dornier melihat Zeven Provincien pada pukul 8.50, antara pukul 8.53 dan 9.02 ia mengirimkan ultimatum dengan radio, menuntut penyerahan tanpa syarat sambil mengancam akan melakukan kekerasan.

Baca Juga : Mengenang Kembali Sutan Sjahrir yang Berjuang di Masa Kolonial Belanda dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia

Ia menuntut "Kibarkan bendara putih, gelarkan kain putih lebar di geladak. Hentikan kapal. Saya beri waktu sepuluh menit...."

Rumambi menjawab ultimatum itu dengan telegram protes: "Sama sekali tidak ada kecenderungan komunis, tiada ada rencana melakukan kekerasan, tetapi hanya memprotes penurunan gaji dan penahanan anggota marine."

"Jangan halangi kami! Semuanya baik di kapal, tak ada yang luka, dinas rutin berjalan lancar, selanjutnya penyerahan komando kepada komandan sehari sebelum tiba Surabaya!"

Di kapal agaknya orang kurang percaya bahwa akan diambil tindakan drastis. Ultimatum itu dikira hanya untuk menakut-nakuti saja, mereka tidak percaya bahwa akan dilakukan kekerasan senjata terhadap kapal yang berbendera Belanda dan masih memuat perwira-perwira yang tak terlibat.o

Baca Juga : Belum Dianggap Merdeka dan Kunjungan Suharto ke Belanda Diremehkan, Benny Moerdani pun Mengamuk

Dilumpuhkan

Pada pukul 9.18 Dornier itu mulai mengadakan serangan. Pukul 9.18 bom satu-satunya yang berukuran 50 kg diarahkan kepada titik sasaran 10 m di depan kapal....

Dari atas kapal terlihat sekelumit asap keluar dari bagian bawah tubuh pesawat sesaat ketika Dornier itu melintas, lalu terdengar suara mendesis ....bom itu jatuh di sebelah cerobong asap terdepan, menembus geladak tenda lalu meledak.

Suara ledakan yang gemuruh, lidah api yang menjulang tinggi dan kebakaran yang ditimbulkan menyebabkan panik. Kapal Zeven sendiri tak menderita kerusakan berat, geladak tenda dan geladak atas terkoyak, cerobong-cerobong berlubang=lubang dan sebuah sekoci hancur.

Tetapi korban manusia cukup mengerikan. Tiga awak kapal Belanda dan enam belas Indonesia gugur seketika, enam diantaranya tak dapat dikenali atau hilang, sebelas awak lagi luka berat (tiga Belanda dan delapan Indonesia); dalam perjalanan ke Jakarta empat di antara yang luka parah meninggal.

Baca Juga : Peninggalan Belanda, Rumah Antik Menteri Susi yang Satu Ini Dianggap Angker

Mereka yang gugur

Paradja dan Gosal gugur seketika, Rumambi dalam keadaan sekarat masih berusaha menembakkan pistolnya dengan tenaga terakhirnya, tetapi tak berhasil... lalu menghembuskan napasnya yang penghabisan. Bahkan sampai mati juga diskriminasi rasial dilaksanakan.

Pelaut Indonesia yang gugur dimakamkan tanpa upacara di pulau kecil Kerkhof dekat Pulau Onrust (Pulau Kapal), pelaut Belanda di Purmerend (Pulau Bidadari), semuanya di Teluk Jakarta.

Mereka yang terlibat aksi yang masih hidup dimasukkan dalam kamp tawanan di Pulau Onrust selama kurang lebih tujuh bulan sebelum dihadapkan kepada mahkamah militer.

Baca Juga : OPM, Pemberontak 'Warisan' Belanda Yang Kerap Serang Freeport untuk 'Cari Perhatian'

Hukuman paling berat dijatuhkan kepada Kawilarang yaitu enam belas tahun, yang teringan enam tahun. Yang dianggap hanya ikut-ikutan saja dihukum antara dua sampai empat tahun. Pelaut Belanda yang dianggap paling bersalah ialah Kopral Maud Boshart, juga dijatuhi hukuman enam belas tahun penjara.

Komandan kapal Eikenboom juga dihadapkan ke Mahkamah Tinggi Militer di Den Haag, dia pun dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Juga beberapa perwiranya tak luput dari tuntutan hukum, karena dianggap melalaikan tugasnya atau tidak berhasil mengatasi aksi.

Pada tanggal 10 Februari 1958, seperempat abad setelah peristiwa itu, jenazah para pelaut Indonesia yang gugur dipindahkan dari pulau sepi itu ke Taman Pahlawan Kalibata dengan penghormatan militer sebagai penghargaan atas jasa-jasanya sebagai perintis kemerdekaan. (Rondom De Nuiterij Op "De Zeven Provincien". Sedjarah Pemberontakan Kapal Tudjuh.)

Baca Juga : Bung Karno Pejuang Kemerdekaan yang Justru Semakin 'Sakti' Setelah Dipenjara Oleh Belanda

Artikel Terkait