Intisari-Online.com – Bulan Ramadhan 1422 H atau Desember 2001 saya mengikuti rapat di kantor WHO di di Jenewa, Swis, selama seminggu.
Masalah timbul ketika saya tahu bahwa menurut perjanjian antara pihak hotel dengan WHO, biaya yang ditanggung sudah berikut sarapan.
Dari Jakarta saya mengirim email ke pihak hotel bahwa saya membutuhkan sarapan sekitar pukul 05.30.
Email saya tidak dijawab, jadi saya pikir permintaan saya tidak dipenuhi. Perjalanan Jakarta - Jenewa sekitar 16 jam. Saya berangkat malam hari, sehingga bisa makan malam di pesawat.
Repotnya, sarapan dihidangkan pada pukul 06.00, saat itu kami sudah di atas benua Eropa.
(Baca juga: Catat! Kita Tak Boleh Mandi Lebih dari 5 Menit Saat Puasa. Ini Alasannya!)
(Baca juga: Hati-hati, Minum Obat saat Puasa Ada Aturannya, yang Bisa Berakibat Fatal Jika Diabaikan)
(Baca juga: Tidak Perlu Jauh-jauh ke Kalimantan Bila Ingin Berbuka Puasa dengan Soto Banjar, di Jakarta pun Ada)
Melalui kaca jendela saya melihat langit di luar masih sangat gelap. Dengan mengucap "bismillah" saya cepat-cepat sarapan.
Sesampai di hotel saya baru tahu bahwa sarapan disediakan pukul 06.30. Namun, saya tidak sempat menanyakan apakah saya bisa mendapatkan sarapan lebih awal.
Pukul 17.30 langit sudah gelap. Karena agak ragu, saya baru berbuka puasa pukul 18.00.
Di restoran siap saji saya memesan burger ayam ukuran besar, kentang, dan minuman ringan dengan harga 10 frank Swis atau sekitar Rp70.000,-.
Ini sudah paket hemat. Ya, rupiah kita memang sangat terpuruk. Selama beberapa hari berikutnya saya berbuka di tempat lain.
Ada sejumlah pilihan yang berbau Asia dan menyediakan nasi, yakni restoran masakan Cina dan Thailand.
Sepiring nasi dengan daging sapi di restoran Cina harganya sekitar 15 frank Swis atau Rp105.000,-.
Ketika kembali ke hotel, ternyata di kamar saya sudah tersedia makanan untuk sarapan besok pagi. Rupanya, hotel tidak dapat menyediakan sarapan lebih awal dari pukul 06.30.
Saya cukup senang dengan layanan ini, meskipun esok paginya - setelah sahur dan sholat subuh – makanan dan sepoci teh itu saya nikmati dalam keadaan dingin.
Ternyata kalau kita mau berusaha, berbagai kemudahan untuk beribadah puasa dapat kita temukan, walaupun berada di negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim.
(Tjandra Yoga Aditama, di Jakarta, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 2002)