Intisari-Online.com – Memasuki bulan Ramadhan, saat umat Islam menunaikan ibadah puasa. Banyak hal perlu diperhatikan dalam menjalankan ibadah puasa ditinjau dari aspek kesehatan dan kaitannya dengan penggunaan obat secara benar selama berpuasa.
Berat-ringannya orang sakit tergantung pada macam penyakit dan kondisi fisik penderita. Hal ini dapat dikonsultasikan pada dokter yang merawat, apakah memungkinkan penderita menjalankan ibadah puasa atau tidak.
Yang jelas, penderita penyakit berat dan penderita sakit maag berat atau diare tidak diwajibkan menjalankan ibadah puasa.
Namun, penderita yang masih sanggup menelan atau meminum obat dan kondisi fisiknya memungkinkan, misalnya penderita kardiovaskular (hipertensi, jantung), diabetes mellitus, lever, ginjal, rematik, obesitas, flu, batuk, dan lain-lain, masih dibolehkan menjalankan ibadah puasa.
Pengaruh kegiatan berpuasa terhadap pemeliharaan kesehatan penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes melitus, lever, ginjal, rematik, dan obesitas umumnya positif.
(Baca juga: Tidak Perlu Jauh-jauh ke Kalimantan Bila Ingin Berbuka Puasa dengan Soto Banjar, di Jakarta pun Ada)
(Baca juga: Bagaimana Astronaut Melakukan Salat dan Puasa di Luar Angkasa?)
(Baca juga: Terserang Demam? Labu Air Daging Sengkel Bisa Jadi Pilihan Menu Berbuka Puasa Hari Ini)
Soalnya, mereka dapat melakukan diet lebih dan mengistirahatkan organ saluran cerna dari kemampuan bekerja lebih keras.
Berpuasa akan membatasi penderita yang harus berdiet untuk mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang merupakan kontraindikasi penyakitnya.
Apalagi pada saat berpuasa, makanan dan minuman yang dikonsumsi cenderung mengandung zat gizi atau nutrisi yang lebih sempurna, baik dari segi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air.
Patut diketahui bahwa berpuasa tidak menyebabkan pelakunya mengalami defisiensi alias kekurangan gizi, karena nutrisi yang masuk lewat makanan dan minuman tetap diterima tubuh saat berbuka puasa.
Hanya memang frekuensi kegiatan makan dan minumnya dikurangi dengan tidak makan dan tidak minum sejak waktu subuh hingga magrib.
Lalu bagaimana cara menggunakan obat selama menjalankan ibadah puasa bagi mereka yang sedang sakit?
Kalau minum obatnya 3 – 4 kali apakah dosisnya yang siang boleh dirangkap pada saat buka puasa dan saat sahur, atau dosisnya sama tetapi frekuensinya cukup dua kali?
Tentunya kedua cara yang ditempuh tidak dibenarkan.
Karena, kalau dosis diduakalikan, efeknya bisa berbahaya dan fatal. Sedangkan kalau dosisnya kurang, efektivitas obatnya kurang maksimal sehingga penyakitnya akan lebih lama sembuhnya.
Memang selama berpuasa, sering kali kepatuhan penderita (compliance) dalam menggunakan obat menurun.
Agar penderita dalam menggunakan obat selama berpuasa tetap mendapat manfaat terapi yang optimal, maka perlu mengetahui cara yang benar dalam menggunakan obat.
Penderita yang menggunakan obat selama berpuasa hendaknya bertanya kepada dokter yang merawat, atau meminta petunjuk apakah kondisi sakitnya masih memungkinkan dia untuk berpuasa.
Dapat pula hal itu dikonsultasikan kepada apoteker pengelola apotek yang melayani obatnya.
Berikut ini tip yang dapat digunakan penderita penyakit tertentu untuk memilih obat:
Bila dosis obatnya dapat diduakalikan, maka dapat dilakukan dengan menduakalikan dosis (2 tablet/kapsul/sendok) atau dipilih obat dengan kekuatan dua kalinya (forte).
Misalnya:
a. Antibiotik (ampisilin, amoksisilin, tiamfenikol, kloksasilin, iprofloksasin, eritromisin, spiramisin, tetrasiklin, griseofulvin, dll.) dipilih tablet antibiotik yang sama dengan kekuatan dua kalinya (forte).
b. Obat TBC yaitu INH sehari 3 - 4 x 100 mg dapat diberikan INH tablet 300 atau 400 mg sehari 1 kali.
c. Vitamin dan mineral dapat dipilihkan yang sehari cukup digunakan 1-2 kali sehari saja (dosis tinggi).
Bila dosisnya tidak dapat diduakalikan, maka dapat dipilih bentuk lepas lambatnya/terkontrol/ retard yang frekuensi pemakaiannya cukup 1 - 2 kali sehari.
Misalnya :
a. Obat asma: teofilin, salbutamol.
b. Obat hipertensi: nifedipin, verapamil, diltiazem.
a Obat rematik/analgetik: natrium diklofenak, ketoprofen, asam tiaprofenat.
d. Obat epilepsi: karbamazepin.
Alternatif lainnya:
a. Dipilih obat lain dengan bahan aktif yang berbeda namun khasiat obatnya masih segolongan (sama indikasinya). Untuk penggantian ini perlu konsultasi dengan dokter. Misalnya, nifedipin (sehari 3x) diganti amlodipin (sehari 1x) - keduanya obat darah tinggi; CTM (sehari 3x) diganti loratadin, ferfenadin, feksofenadin, astemizol, setirizin (semuanya cukup sehari 1x).
b. Dipilih obat dengan rate yang bukan oral seperti transdermal (sistemik yang obatnya dapat menembus kulit), topikal, tetes mata, tetes telinga, injeksi. Obatrobat ini dapat diberikan selama siang hari (sejak subuh hingga magrib). Misalnya, obat rematik/analgesik diklofenak natrium, dipilih salep piroksikam; obat angina pektoris.nitrogliserin, dipilih salep/transdermal; infeksi jamur kulit dipilih obat jamur untuk kulit.
Waktu penggunaan obat harus diperhatikan pula, apakah sebelum, bersama makan, atau sesudah makan.
Juga kadang-kadang dianjurkan untuk diminum pagi, sore, atau malam hari. Untuk obat diabetes mellitus sebaiknya dikonsumsi pagi hari bersamaan dengan makan sahur.
Jangan minum obat pada saat perut kosong, terutama obat-obat yang dapat mengiritasi lambung. Misalnya obat rematik/analgetik, seperti diklofenak natrium, piroksikam, asam tiaprofenat, naproksen, ibuprofen, aspirin, antalgin, dll.
Sebab, saat menjelang magrib asam lambung sangat berlebihan akibat menahan, lapar dan dahaga. Untuk itu sebaiknya berbuka secukupnya dan setelah setengah jam kemudian barulah minum obat tersebut.
Namun jika absorpsi obat sangat dipengaruhi oleh makanan dan minuman, maka baru 1 - 2 jam kemudian obat diminum. Obat-obat yang absorpsinya dipengaruhi oleh makanan misalnya ampisilin, siprofloksasin, eritromisin, rifampisin, kaptopril, tetrasiklin, dll.
Sedangkan yang tidak dipengaruhi oleh adanya makanan, misalnya amoksisilin, obat diabetes mellitus (glibenklamid, glipizid, klorpropamid), teofilin, dll.
Antara magrib dan subuh (kurang lebih 10-11 jam) diatur waktu penggunaan obatnya. Misalnya, obat diminum 1 jam sesudah berbuka puasa, maka dosis berikutnya menjelang datangnya imsak/subuh, dan waktu sahur sebaiknya 1 jam sebelum datangnya imsak/subuh.
Sore atau malam hari dosis berikutnya diulang seperti waktu kemarinnya. Waktu untuk dapat minum obat semakin pendek, bila umat Islam menjalankan ibadah puasa di daerah yang waktu siangnya jauh lebih pendek daripada malam harinya.
Misalnya, di beberapa negara Eropa Utara atau Timur, Rusia, Alaska, Kanada. Tentunya alternatif cara pemakaian obat atau obat yang cukup sehari 1 kali merupakan pilihan yang tepat.
Bila kurang jelas, hendaknya berkonsultasi dengan dokter pada saat memeriksakan kesehatan, atau menanyakan kepada apoteker yang menyiapkan dan menyerahkan obat di apotek.
Informasi yang benar dalam penggunaan obat bagi penderita ataupun orang awam sangatlah penting diketahui agar tujuan terapi obat tetap optimal dan kesehatan penderita tetap terjaga selama menjalankan ibadah puasa.
(Drs. Suharjono. MS, Apt., staf pengajar pada Fakultas armasi, Universitas Airlangga. Surabaya, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari Januari 1998)