Intisari-Online.com - Manati yang dilaporkan Columbus (baca: Salah Satu Versi Kisah Putri Duyung Mirip dengan Kisah Jaka Tarub, Kebetulan atau Ada yang Terinspirasi?) itu ternyata sejenis lembu laut dari Ordo Sirenia yang meminjam nama Sirena dari epos Odyssey rekaan Homerus.
Lembu ini berkerabat dengan gajah, tetapi tidak mungkin disebut gajah laut, karena tidak berbelalai.
Walaupun nama lembu laut itu juga salah (mestinya gajah, 'kan?), tetapi masih mending daripada Putri Laut.
Wajahnya tidak begitu menggembirakan. Hidungnya pesek dan seluruh mukanya berbulu. Bibir atasnya begitu tebal sampai tidak karu-karuan pasfotonya.
Tetapi jelek-jelek, ia sangat berjasa mengendalikan pertumbuhan rumput laut (makanannya) yang mengganggu alur pelayaran kapal laut keluar masuk pelabuhan.
(Baca juga:Usut Asal Mitos Putri Duyung: Nyanyian Pemikat Maut bagi Para Pelaut dari Sang Putri Laut)
Ada kerabat dekat dari manati itu yang hidup sebagai Perempuan Laut di Singapura, Malaysia, dan Sumatra sebelah timur. Kita di Pulau Jawa menyebutnya Ikan Duyung. Dugong dugong, walaupun tahu bahwa ia bukan ikan.
Nama yang salah ini tetap dipakai karena yang dimaksud memang duyung yang sebenarnya. Kalau yang dimaksud itu bukan lembu laut, tetapi Mermaid dari dunia dongeng, maka nama yang disediakan ialah Putri Duyung.
(Baca juga: Perawat Anak Ini Bikin Ceria Balita yang Ditinggal Mati Ayahnya Berkat Kostum Puteri Duyung)
Ikan duyung Asean itu juga berjasa mengendalikan rumput laut seperti manati Amerika Latin. Ketika mereka diburu juga secara besar-besaran oleh para nelayan yang menjual air matanya ke dunia pelesiran, pemerintah melindungi mereka dengan undang-undang sebagai binatang yang terancam punah.
"Ayer mata duyong" dipercaya sebagai obat pemikat dan perangsang cinta di Singapura. Gigi taring duyung jantan diperdagangkan sebagai gading (seperti gigi taring gajah) untuk membuat pipa rokok.
Walaupun mereka sudah dilindungi dengan undang-undang, berupa Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 10 Juli 1972, namun surat keputusan semacam itu hanya sampai di kalangan orang-orang yang pada dasarnya bukan pemburu.
Setelah beredar di kalangan mereka; akhirnya surat itu disimpan dalam arsip dinas pemerintah, yang tak pernah ditengok kembali.
Adapun para pemburu duyung sendiri di lapangan, tetap saja tidak tahu tentang perlindungan duyung dengan undang-undang berupa surat.
(Seperti ditulis oleh Slamet Soeseno dan pernah dimuat di Intisari edisi Agustus 1998)