Advertorial
Intisari-Online.com – Berikut ini beberapa petikan peristiwa yang terjadi pada awal masa kemerdekaan, masa di mana orang merasa bangga dengan cara hidup sederhana.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1981, yang dicukil dari beberapa buku.
Kemeja dr. Leimena cuma dua
Dokter Johannes Leimena baru saja diangkat menjadi menteri oleh Presiden Sockarno.
Baca juga: Lupa Ukuran, Ini Cara Cerdik Bung Karno Membeli Bra Titipan Istri
Tetapi waktu itu ia bukan diplomat profesional, cuma dokter desa saja. Selama dua tahun dalam zaman pendudukan (Jepang — Red.) ia hanya memiliki sebuah celana dalam. Sekarang tiba-tiba ia mewakili ncgaranya dalam suatu delegasi diplomatik.
Dia hanya punya dua helai kemeja. Yang satu dikenakannya. Satu Iagi sedang dicuci. Untuk setiap resepsi resmi ia meminjam dasi dari temannya.
Waktu mendadak diangkat menjadi diplomat ia berkata: "Baiknya saya tinggal sekamar dengan rekan yang ukuran badannya bersamaan. Ia mempunyai jas yang bisa saya pinjam. Jas itu tidak pas betul, tetapi saya hanya perlu mengenakannya beberapa jam saja sekali pakai. Saya kira saya bisa menyelesaikan soal ini. Jangan khawatir. Saya tidak akan memalukan negara kita". (Sukarno, An Autobiography as told to Cindy Adams, New York 1965, 239).
Baju tambalan Moh. Natsir
Baca juga: Kisah Cinta Fatmawati dengan Bung Karno dalam Buku Harian yang Ditulisnya Sendiri
"Dia tidak bakal berpakaian seperti seorang menteri," kata Haji Agus Salim pada suatu hari dalam bulan Agustus 1948 ketika saya hendak meninggalkan kantornya di Yogyakarta.
"Namun demikian, dia seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran; jadi kalau Anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam republik, Anda seharusnya berbicara dengannya."
"Ketika keesokan harinya saya mengunjungi Kementerian Penerangan untuk bertemu dengan Mohammad Natsir, maka saya menemukan seorang sederhana dan rendah hati yang pakaiannya sungguh tidak menunjukkan bahwa dia seorang menteri dari suatu Pemerintahan.
Malah ia memakai kemeja yang paling banyak bertisikan, yang belum pernah saya lihat pada pegawai mana pun dalam suatu pemerintahan di mana kesederhanaan berpakaian berlaku sebagai suatu norma.
Baca juga: Terkenal Gagah Berani, Bung Karno Ternyata Tidak Tegaan Melihat Binatang Tersiksa atau Diburu
Kemudian barulah saya ketahui bahwa beberapa dari stafnya merasa perlu patungan agar menteri mereka dapat memperoleh barang satu setel pakaian yang pantas dipakai pada saat-saat penting." (G. Me Turnan Kahin, "Mohammad Natsir" 330):
Bung Karno makan sate di kaki lima
Setelah dipilih untuk menduduki jabatan tertinggi negara, Presiden baru, pulang berjalan kaki.
"Di tengah jalan aku bertemu dengan seorang penjual sate di pinggir jalan, makanan nasional, yang merupakaan salah satu kegemaran kami. Yang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil tukang sate yang tak beralas kaki itu lalu mengeluarkan perintah eksekutifnya yang pertama:
Baca juga: Gara-gara Harus Memberikan Sumbangan pada Bung Karno, Diturunkan Pangkatnya di Istana Merdeka
"Bang, bakarkan 50 tusuk sate ayam". "Aku berjongkok di tepi jalan dekat selokan dan sampah lalu makan dan itulah seluruh pesta besar untuk merayakan pengangkatanku." (Cindy Adams 222)
Sahardjo SH pulang balik Solo-Yogya bersepeda
Dr. Sahardjo SH sewaktu masih menjadi pejabat tinggi pada Kementerian Kehakiman di ibukota RI Yogyakarta, tidak mampu menyewa rumah di kota itu, sebab sewa rumah membubung karena pemerintah RI hijrah dari Jakarta ke Yogya.
Keluarganya di "titip"kan di pavilyun keluarga seorang saudagar batik di Surakarta, sedang Pak Sahardjo sendiri menyewa kamar di Yogya. Tiap Sabtu siang seusai kantor, ia pulang menjenguk keluarga ke Solo naik sepeda.
Baca juga: Terbiasa Hidup Susah, Bung Karno Pun Jadi 'Penyelundup' Saat Diasingkan ke Flores
Minggu petang kembali ke Yogya dengan cara sama. Jarak Yogya-Solo 65 km.
Untuk menambah penghasilan yang sangat minim, Ibu Sahardjo membuka warung di pavilyunnya. Sahardjo ikut membantu di warung itu pada hari-hari libur, kadang-kadang hari minggu ia berkeliling kota Solo naik sepeda untuk ikut membantu menjajakan dagangan istrinya.
Tahun 1959 Sahardjo SH diangkat menjadi Menteri Kehakiman. Sampai tahun 1962 ia belum menempati rumah sendiri. Numpang di rumah mertuanya di Jalan Salemba Tengah, seperti sejak tahun 1938.
Tahun 1962 baru menempati rumah dinas di kompleks Kehakiman Utan Kayu, yang sebenarnya tak dimaksudkan untuk seorang menteri. (Zaidir Djalal, Dr. Sahardjo SH)
Baca juga: Tak Ingin Lihat Istri-Istri Suaminya, Fatmawati Tak Pernah Jenguk dan Hadiri Pemakaman Bung Karno
Utusan RI di Filipina
Gaji utusan diplomatik kita di Filipina enam dolar seminggu. "Kedutaannya" adalah rumah tukang cukur tempat dia dan istrinya mondok. Untuk menghadap Presiden Filipina ia meminjam setelan jas tukang cukur itu.
Pada suatu hari seluruh keuangan sang "Duta Besar" itu tinggal 20 sen. Ia dan istrinya membeli tiga buah apel. Dengan apel dan air minum itu mereka hidup selama tiga hari. (Cindy Adams 240)
Istana meminjam taplak dari tetangga
Baca juga: Bukan karena Dibentak, para Pengawal Justru akan Gemetar Jika Bung Karno Sudah Pegang Sapu
Tamu-tamu pemerintah ditempatkan di sebuah wisma dan tiga kali sehari seorang ajudan presiden memuati miobil Cadillac kepresidenan dengan makanan untuk para tamu penting itu.
Begitulah cara kami bekerja waktu itu.Kami tak tahu apa-apa tentang tatacara protokol. Sejalan dengan cara segala apa diurus, pejabat yang mengurusi masalah protokol adalah orang yang secara logis cocok untuk menduduki jabatan ini karena pengalaman kerjanya.
Mutahar ini seorang bekas pelaut. Ketika India dan Cina membuka kantor konsulat mereka di Yogya, saya ingin menjamu mereka di istana.
Sebuah istana bercat putih dikelilingi dengan tembok tinggi yang dulunya pernah dihuni oleh Gubernur Belanda di zaman kolonial kemudian Komando Tinggi Jepang di masa Revolusi hanya merupakan gedung kosong.
Baca juga: Saat Bung Karno Terseret Mobil dan Tangannya Terjepit Pintu Mobil
"Bagaimana kita bisa mendapat piring?" tanya saya kepada Mutahar.
“Istana ini tidak mempunyai perlengkapan apa-apa. Jepang merampok segalanya sebelum angkat kaki. Saya hanya mempunyai seperangkat cangkir plastik murahan berwarna hijau dengan tatakannya yang diselundupkan dari Manila."
Mudah saja, senyum Mutahar dengan tenangnya. Mutahar orangnya selalu tenang. "Saya akan pergi ke Toko Oen, restoran Cina di kota, untuk meminjam barang pecah belah berikut sendok garpu peraknya."
Kemudian ia berkeliling ke para tetangga untuk meminjam taplak meja. Waktu Fatmawati bertanya apakah dia tahu jenis mana yang harus dipakai, ia menjawab "yang putih saja."
"Pandai benar, rupanya kau tahu banyak tentang seni menata meja," pujinya. "Mengapa kaupilih yang berwarna putih saja?"
"Putih itu suci", jawabnya. "Putih melambangkan kemurnian, kebersihan, kekudusan. Lagi pula, ini warna yang paling mudah didapat." (Cindy Adams 240-241)