Advertorial

Bahkan Untuk Eksekusi Hukuman Mati pun Tidak Gratis, Pelurunya Bayar Sendiri

K. Tatik Wardayati
,
Yoyok Prima Maulana

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Banyak cara yang dilakukan dalam sejarah manusia untuk menghukum mati para terpidana. Antara lain (maaf, kalau terdengar kejam): digantung, diumpankan ke binatang buas, disalib, dipancung lehernya, digergaji, direbus, sampai diinjak-injak gajah.

Tujuannya cuma satu: membuat mati, tapi caranya bervariasi sesuai budaya pada zamannya.

Hukuman tembak sendiri awainya diberlakukan di lingkungan militer di Eropa, seiring pemakaian senjata api dalam perang, pada abad 16 - 17.

Desersi, penakut, mangkir, atau perampokan adalah kesalahan yang langsung divonis mati.

Pemakaian senjata api dianggap efektif dan efisien. Jika butuh cepat, tahanan perang juga dieksekusi pakai cara ini.

Baca juga: Urutan Eksekusi Hukuman Mati di Nusakambangan yang Buat Narapidana Tak Kuasa Menahan Tangis

Senjata api juga dianggap praktis karena langsung mengarah ke sasaran mematikan, seperti jantung atau batang otak.

Begitu peluru merusak organ vital itu, terpidana langsung tak sadarkan diri sambil meregang nyawa, sesudah itu mati. Itu teorinya.

Kenyataannya banyak terpidana yang harus menanggung sakit terlebih dulu. Misalnya dalam sebuah eksekusi di Bahrain, 2006, seorang terpidana sempat 10 menit bergelimang darah sebelum benar-benar mati.

Awal abad ke-20, saat hukuman tembak diberlakukan kepada warga sipil, mulai tercipta aturan-aturan pelaksanaan eksekusi. Misalnya posisi terpidana bisa berdiri, duduk, atau berlutut.

Agar tenang, mata bisa ditutup dan tubuh diikat pada tiang. Eksekutor terdiri atas beberapa penembak, yang beberapa senjatanya hanya berisi peluru hampa.

Baca juga: Detik-detik Mengerikan di Ujung Ajal: Tahap demi Tahap saat Suatu Hukuman Mati Dilakukan

Gunanya untuk menjaga efek psikologis yang buruk bagi petugas eksekutor.

Cara itu juga yang dipakai pada pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, mengadopsi dari hukum Hindia Belanda yang berlaku sejak 1918.

UU No. 2/Pnps/1964 yang mengatur teknisnya mengharuskan eksekusi dilaksanakan di wilayah hukum pengadilan dari lokasi kejahatan, penembaknya 12 orang polisi, pada jarak antara 5 - 1 0 meter, serta dokter memastikan kematiannya.

Lucunya, Belanda sudah menghapus hukuman mati untuk warga sipil sejak 1870.

Masing-masing negara punya cara hukuman tembaknya sendiri. Saat masih diberlakukan di Thailand hingga tahun 2001, terpidana berdiri membelakangi eksekutor yang menembak menggunakan senapan mesin.

Baca juga: Ada yang Digergaji, Ada Pula yang Direbus: Inilah Beberapa Metode Hukuman Mati Paling Kejam Zaman Dulu

Antara terpidana dan eksekutor terpisah sekat kain putih. Eksekusi yang pemberitahuannya hanya beberapa jam sebelum pelaksanaan ini hanya dilakukan seorang eksekutor saja.

Di Taiwan, tembakan dilakukan langsung mengarah ke jantung. Untuk mengurangi rasa sakit, terpidana diberi suntikan anestesi sehingga organ yang jadi sasaran tembak akan mati rasa terlebih dulu.

Sementara di RRC, tembakan diarahkan tepat di belakang kepala atau tulang punggung. Uniknya, eksekusi ini tidak gratis. Pihak keluarga harus membayar biaya pelurunya.

Banyak negara di dunia yang saat ini menghapus hukuman mati karena alasan kemanusiaan. Kalaupun ada, bentuknya berupa suntik mati.

Pelaksanaannya, terpidana disuntik tiga macam cairan, yaitu untuk membuatnya tertidur, menghentikan kerja paru-paru, dan untuk menghentikan jantung.

Alasannya, cara ini lebih bersih karena tidak harus berurusan dengan ceceran darah. [Dari pelbagai sumber/Tj]

Baca juga: Dari Ditarik Kuda hingga Diinjak Gajah, Inilah Hukuman-hukuman Mati Paling Menyeramkan di Dunia

Artikel Terkait