Advertorial
Intisari-Online.com -Aksi terorisme sebenarnya sudah berlangsung lama sejak sebelum PD I dan tujuan utamanya masih sebatas tindakan anarksis dan kriminal.
Tapi pasca Perang Dunia I, sifat terorisme mengalami perubahan. Aksi teror lebih sering dilakukan oleh kelompok ekstrem kanan dan yang terinspirasi fasisme.
Misalnya di Jerman ada Free Corps, di Rumania ada kelompok teroris Iron Guard, dan di Jepang ada juga kelompok yang mengambil inspirasinya dari kaum Samurai masa lalu.
Dari waktu ke waktu, sasaran terorisme memang selalu berubah.
Baca juga:Sosok Ipda Auzar yang Gugur Akibat Ditabrak Mobil oleh Terduga Teroris
Apabila pada abad ke-19 sasarannya adalah para raja, menteri atau jenderal, selanjutnya masuk juga kelompok menengah seperti para hakim, bankir, dan figur lain yang sebetulnya kurang jadi perhatian publik.
Kalau pun aksi teror itu sampai menimbulkan korban orang yang tak berdosa, maka umumnya hal itu diakibatkan oleh ketidaksengajaan.
Mereka adalah korban yang kebetulan tengah melintas, lalu terkena serpihan bom.
Tetapi belakangan sasaran terorisme semakin meluas dan tanpa pandang bulu. Mereka bahkan menyerang sasaran orang-orang yang sedang lengah dan sesungguihnya tidak pantas untuk diserang.
Baca juga:Tak Kalah Mengerikan dari Kelompok Teroris, Berikut 6 Kelompok Militan dengan Teror Mengerikan
Simak saja korban orang tak berdosa dalam peristiwa bom Bali, ledakan bom di Mombasa, Kenya, lalu bom bunuh diri di Irak, Pakistan, Afghanistan, dan tempat-tempat lain.
Perubahan strategi bukanlah karena semakin sulitnya membunuh pemimpin politik yang dikawal ketat, namun lebih sebagai akibat berkembangnya fanatisme.
Sikap ini mendasari pemikiran bahwa yang harus dilenyapkan bukanlah hanya sejumlah tokoh, tetapi keseluruhan masyarakat dari “pihak musuh”.
Terbunuhnya anak-anak, kaum wanita, dan orang-orang tua atau pun non-combatant lain, dianggap lebih efektif untuk menimbulkan ketakutan serta kepanikan dibanding penyerangan terhadap pasukan keamanan.
Mereka tak lagi punya kepekaan atas kepengecutan dan kekejiannya sendiri.
Dengan sasaran yang dipilih secara ‘ngawur’ itu maka kejadian terorisme menjadi sulit dicegah.
Apalagi jika teroris menganggap ‘musuhnya’ bukan hanya aparat kepolisiian seperti yang terjadi di Indonesia tetapi juga masyrakat luas.
Aksi teroris yang telah membom sejumlah gereja di Surabaya menunjukkan bahwa masyarakat telah menjadi sasaran.
Tujuan serangan teroris bahkan bukan karena motif agama lagi tapi demi menciptakan ketakutan serta kebingungan di tengah masyarakat luas.
Oleh karena itu penanggulan aksi terorisme kemudian bukan hanya menjadi tanggung jawab aparat keamanan saja tapi juga peran serta dari masyarakat.
Baca juga:Inilah Pemimpin ISIS yang Dianggap Paling Brutal, Pernah Bakar Tawanan Hidup-hidup Dalam Sangkar