Intisari-Online.com - Ketika pada 11-9-2001 AS mendapatkan serangan teror paling mematikan yang secara psikologis setara dengan gempuran Jepang di Pearl Horbour (7-12-1941), militer AS pun langsung menyatakan perang melawan terorisme global.
Dalam waktu singkat AS pun menggempur Afghanistan, Irak, Suriah, dan melakukan intervensi ke sejumlah negara di Timur Tengah lainnya seperti Libya.
Ketika sedang mengkampanyekan perang melawan terorsime global itu militer AS sebagai ‘komandannya’ juga mengajak negara-negara lainnya, dan Indonesia termasuk yang ikut dalam ‘koalisi’ peperangan melawan terorisme global itu.
Tapi sepak terjang militer AS yang berusaha memerangi terorisme global di AS dan Afghanistan malah makin kewalahan karena kelompok-kelompok teroris terus berkembang dan ‘terkenal’, di antaranya adalah kelompok terosis Al-Qaeda dan ISIS.
Baca juga: Ingat! Menyebarkan Foto Korban Teror Sama Saja Menyenangkan para Teroris
Tujuan utama militer AS untuk memerangi terorisme global di kawasan Timur-Tengah juga mulai bias karena yang diincar justru tambang-tambang minyak dan memaksa sistem pemerintahan demokrasi.
Kampanye militer AS sebagai ujung tombak koalisi negara-negara yang telah bersatu menyatakan perang melawan terorisme global pun menjadi tidak fokus dan malah makin kerepotan melawan aksi terorisme sendiri.
Apalagi para anggota teroris Al-Qaeda dan ISIS telah berafiliasi dengan kelompok teroris-teroris yang anggotanya berasal dari berbagai negara.
Misalnya saja, para kombatan (milisi bersenjata) yang semula bertempur di Afghanistan untuk melawan pasukan Rusia, banyak yang berasal dari negara lain termasuk Indonesia.
Tapi dalam perkembangan berikut para kombatan itu kemudian bergabung dengan kelompak Thaliban yang kemudian menjadi penguasa di Afghanistan.
Para anggota Thaliban itu ‘resmi’ menjadi teroris setelah dituduh AS sebagai pendukung anggota Al-Qaeda yang telah menyerang New York pada 11-9-2001.
Source | : | dari berbagai sumber |
Penulis | : | Agustinus Winardi |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR