Intisari-Online.com - Untuk memiliki rumah, konsumen dapat membeli secara kredit dengan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).
Namun, ternyata, untuk membeli rumah dengan KPR pun bukanlah hal mudah, karena konsumen dikondisikan untuk menerima apa yang disediakan oleh pengembang dan bank pemberi KPR.
Ya, konsumen sering tidak menyadarinya dan hanya berpikir yang penting mempunyai rumah. Berikut beberapa hal terkait kerugian konsumen KPR:
Untuk memilih rumah yang akan dibeli, konsumen mempertimbangkan faktor lokasi rumah, luas rumah, layout rumah, fasilitas di sekitar rumah dan tentu saja harga rumah. Setelah memutuskan rumah yang akan dibeli, konsumen harus membayar tanda jadi dan sudah harus menyiapkan uang muka.
Dulu, uang muka minimum yang diminta ialah 20% dari nilai rumah. Kemudian, 1-2 tahun yang lalu banyak pengembang bahkan hanya meminta uang muka minimum 10%.
Hal ini sangat membantu konsumen. Lalu, muncul peraturan pemerintah berupa Surat Edaran Bank Indonesia No 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang ketentuan pengajuan Kredit Pengajuan Rumah.
Dalam Surat Edaran tersebut dinyatakan bahwa uang muka minimum sebesar 30% untukrumah type 70. Bagi sebagian orang, ini memberatkan. Belum lagi jangka waktu pembayaran uang muka yang singkat, yaitu 1-2 bulan. Apabila terlambat akan dikenai denda atau uang tanda jadi hangus.
Bank
Setelah membayar uang muka, proses pengajuan KPR dimulai. Di sinilah konsumen tidak mempunyai hak untuk memilih bank yang digunakan. Padahal, konsumen dapat mempertimbangkan suku bunga KPR yang ditawarkan dan pelayanannya dalam memilih bank untuk KPR.
Konsumen akan dirugikan apabila bank yang menjadi rekanan pengembang memberikan suku bunga KPR yang tinggi dibandingkan bank lain.
Selain itu, apabila konsumen bukan nasabah bank rekanan pengembang, maka konsumen harus menjadi nasabah bank tersebut terlebih dulu. Ini berarti bank yang diuntungkan, bukan konsumen.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR