Ada yang bilang aku ini novelis eksentrik. Terkait dengan pesan ibuku itu, aku acapkali pergi untuk mencari "pengalaman baru". Aku menyamar pakai jenggot palsu, naik bis turun bis. Selalu timbul dorongan kuat untuk memborong buku agama yang dijajakan sepanjang perjalananku. Bertumpuk-tumpuk buku agama ada di kamarku. Kenapa aku harus menyamar? Karena aku sudah kehilangan privacy-ku. Mau tak mau aku harus menyiasati kegesitan kamera yang akan mengincar ke mana aku pergi. Aku butuh kehidupan sebagai orang biasa, seperti dahulu dan tak menjadi bahan berita.
Rupanya "kerisihan" itu juga menulari orang tuaku. Pada hari tertentu, terutama di akhir minggu mereka berdua diungsikan ke tempat yang jauh demi menghindari para penggemar novelku yang datang ke rumah kami. Mereka datang berbondong-bondong dan telah merenggut kehidupan pribadi rang tuaku.
Kesederhanaan cara berpikir mereka, membuat aku selalu mempertanyakan tujuan suatu wawancara. Ibuku sangat tak menyukai publikasi sehingga ia tak berkenan bila aku memamerkan fotonya. Jadi, tak akan dijumpai foto ibuku yang terpampang di media massa.
Aku juga merasa gagal atau belum siap memenuhi harapan ibuku untuk menjadi "manusia yang takwa". Tapi, aku merasa amat berbahagia karena dua tahun lalu telah memberangkatkan orang tuaku dan anggota keluarga terdekat ke Tanah Suci.
Aku berjanji, sepulang dari Amerika akan menenangkan diri di kampung. Berdekatan dengan ibuku yang tak putus-putus berdoa. Betapa aku ingin berlebaran, mengenakan sarung dan duduk di sampingnya pada tahun 2010 ini. Tahun lalu aku berada di Jepang, tahun ini di Amerika. Akh, aku harus pandai-pandai menyiasati waktuku.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR