Ibu di Mata Andrea Hirata, Ibuku yang Tak Putus Berdoa

K. Tatik Wardayati

Editor

Ibu di Mata Andrea Hirata, Ibuku yang Tak Putus Berdoa
Ibu di Mata Andrea Hirata, Ibuku yang Tak Putus Berdoa

Intisari-Online.com – Dalam rangka memperingati Hari Ibu, kami menurunkan tulisan yang pernah dimuat dalam buku terbitan Intisari tahun 2010, Ibu Di Mata Mereka, yang ditulis oleh Yatie Asfan Lubis. Beberapa tokoh Indonesia mengisahkan tentang Ibu mereka. Kali ini adalah Ibu di Mata Andrea Hirata; Ibuku yang Tak Putus Berdoa.

--

Aku terlahir dengan nama Andrea Hirata Seman Said Harun. Pada 24 Oktober di Bangka Belitong. Aku anak ke 6 dari 7 putra-putri pasangan suami istri; Saman Said (90 tahun) dan Masturah binti Ali (83 tahun).

Ayahku bekerja sebagai buruh tambang di PN Timah. Ya, timah semacam denyut nadi bagi pulau kecil kami. Ibuku tergolong orang "Belitong pelosok" yang berpikiran sederhana, dengan tindak tanduk bersahaja, lengkap dengan itikad beribadah yang teramat kuat.

Dalam suasana seperti itulah aku dibesarkan. Ibuku lahir pada zaman penjajahan Belanda sehingga nyaris kurang mengenal seluk beluk persekolahan. Namun, aku tak berkecil hati dengan tumbuhnya jenjang pemikiran di antara kami. Toh, orang tuaku selalu mendorongku untuk belajar yang baik agar kelak mempunyai kehidupan yang lebih sejahtera daripada mereka.

Sejalan dengan pendidikan di sekolah yang amat sederhana, betapa ibuku sudah menanamkan tonggak keimanan pada diriku. Orang Melayu mempunyai anggapan, bila ada yang tak beres dengan kelakuan anaknya, tak segan-segan mengganti namanya. Mengingat aku tergolong anak yang kurang bisa menyesuaikan diri, maka aku sempat lima kali ganti nama. Hirata. Ya ... Hirata dalam bahasa Jepang artinya sawah yang luas. Namun, kalau dibaca secara cepat, terdengar seperti mengucapkan "kata achirat" - a ... he ... rat ....

Aku akan selalu mengenang sikap mereka, setiap kali hari pengambilan rapor tiba. Mereka, terutama ibuku, tak memahami apa itu ilmu hayat, biologi, matematika. la juga tak mengerti arti nilai-nilai prestasi di kelas. Entah lima, enam, delapan sekali pun! Dan uniknya, setiap kali hari penentuan prestasi di kelas itu tiba, ibuku menyongsongnya dengan kebahagiaan luar biasa. Ia sengaja mengolah beberapa macam lauk dan penganan lainnya layak menyambut hari istimewa.

Satu hal lagi yang akan senantiasa lekat di hati ini. Pada suatu sore dengan kesungguhan hati, Ibu sengaja memandikan diriku dan langsung mengajakku mendirikan salat Ashar. Sejak itu aku menyadari bahwa kesucian hati bisa terjadi bila setiap hari melaksanakan salat. Tubuh yang bersih akan melahirkan hati yang suci. Siap total untuk bertakwa, menjalankan semua perintah Tuhan.

Ibuku adalah seorang muslimah sejati yang begitu konsisten dengan ajaran agama yang kokoh. Aku justru mendapat pendidikan awal darinya. Intinya mengenal secara dini apa itu Rukun Islam. Aku mengenalnya sebagai pelajaran yang melampaui program meraih gelar Master.

"Takwa" itulah sikap yang selalu diharapkannya dari putra-putrinya. Terutama aku yang kemudian tumbuh seperti yang dikenal banyak orang. Bimbingan semasa kecil, terkadang "luntur" dibasuh lingkungan pergaulan yang begitu berbeda dengan semua kesederhanaan yang menghiasi masa kecilku di kampung.

Menyimak semua keberhasilanku selama lima tahun terakhir ini, ibuku nampak tenang-tenang saja. Boleh dikatakan, ia selalu menyimpan rasa bangga itu di dalam lubuk sanubarinya. Setahuku, ia enggan ikut-ikutan berkomentar bila datang puja-puji terhadap sukses yang kuraih.

Ibuku kerapkali mempertanyakan harapannya agar aku menjadi manusia yang takwa. Terus terang aku belum memenuhi harapan tersebut. Ada satu dialog dalam sunyi bahwa sebenarnya aku sedang berjalan menuju ke sana. Mewujudkan impian Ibu yang tak pernah putus berdoa untuk diriku ini.

Ada yang bilang aku ini novelis eksentrik. Terkait dengan pesan ibuku itu, aku acapkali pergi untuk mencari "pengalaman baru". Aku menyamar pakai jenggot palsu, naik bis turun bis. Selalu timbul dorongan kuat untuk memborong buku agama yang dijajakan sepanjang perjalananku. Bertumpuk-tumpuk buku agama ada di kamarku. Kenapa aku harus menyamar? Karena aku sudah kehilangan privacy-ku. Mau tak mau aku harus menyiasati kegesitan kamera yang akan mengincar ke mana aku pergi. Aku butuh kehidupan sebagai orang biasa, seperti dahulu dan tak menjadi bahan berita.

Rupanya "kerisihan" itu juga menulari orang tuaku. Pada hari tertentu, terutama di akhir minggu mereka berdua diungsikan ke tempat yang jauh demi menghindari para penggemar novelku yang datang ke rumah kami. Mereka datang berbondong-bondong dan telah merenggut kehidupan pribadi rang tuaku.

Kesederhanaan cara berpikir mereka, membuat aku selalu mempertanyakan tujuan suatu wawancara. Ibuku sangat tak menyukai publikasi sehingga ia tak berkenan bila aku memamerkan fotonya. Jadi, tak akan dijumpai foto ibuku yang terpampang di media massa.

Aku juga merasa gagal atau belum siap memenuhi harapan ibuku untuk menjadi "manusia yang takwa". Tapi, aku merasa amat berbahagia karena dua tahun lalu telah memberangkatkan orang tuaku dan anggota keluarga terdekat ke Tanah Suci.

Aku berjanji, sepulang dari Amerika akan menenangkan diri di kampung. Berdekatan dengan ibuku yang tak putus-putus berdoa. Betapa aku ingin berlebaran, mengenakan sarung dan duduk di sampingnya pada tahun 2010 ini. Tahun lalu aku berada di Jepang, tahun ini di Amerika. Akh, aku harus pandai-pandai menyiasati waktuku.