Advertorial
Intisari-Online.com -Ketika pasukan TNI AL melancarkan misi penyusupan ke Irian Barat dalam Operasi Trikora (1962) melalui laut, pasukan Belanda yang ternyata mengetahui operasi yang sebenarnya rahasia itu segera melakukan penghadangan.
Patroli kapal perang dan pesawat tempur AL Belanda menjadi semakin gencar seiring dengan kegiatan infiltrasi yang dilancarkan oleh Komando Mandala.
Meskipun sejumlah upaya infiltrasi gagal dan banyak pasukan RI yang tertawan oleh pasukan Belanda, tak ada kata pantang mundur bagi para prajurit Komando Mandala.
Pada 4 Agustus 1962, satu kompi Yon R-700 bersenjata lengkap termasuk perbekalan logistik selama satu minggu pimpinan Lettu Thomas Nussy tiba di Wahai, Ambon dengan menumpang kapal KU-ADRI XIV.
Dua hari kemudian Kepala staf (Kas) Brigif-2 menugaskan Peleton-2 Speed boat untuk mendaratkan Kompi Nussy di Pulau Missool, Raja Ampat, Irian Barat yang berbatasan dengan laut Seram.
Misi pasukan Kompi Nussy adalah untuk melancarkan perang gerilya sekaligus mengikat kekuatan militer Belanda agar terpusat di suatu tempat.
Persiapan untuk mengangkut pasukan yang akan diberangkatkan pada saat malam hari pun segera dilakukan.
Misi penyusupan pasukan pada malam hari itu meskipun terlindung oleh gelapnya malam rawan dihadang oleh pesawat patroli dan kapal-kapal perang Belanda yang berpatroli nyaris 24 jam.
Hari berikutnya, sekitar pukul 19.15 WIT, dengan menggunakan tiga speed boat yang terbuat dari bahan fiberglass dan dinamai Puntodewo, Sadewo, serta Nakulo, operasi untuk mendaratkan infiltran pun dimulai.
Dipimpin langsung oleh Dan Ton-2 Ki Speed boat, Calon Perwira (Capa) Djamran Hasan, tiga speed boat segera disiapkan.
Tiga speed boat yang merupakan kapal angkut cepat tidak bersenjata itu mengangkut 99 anggota Kompi yang dipimpin Nussy sendiri. Tujuan pendaratan infiltrasi Kompi Nurssy adalah kampung We di pulau Missool dekat gunung Adola.
Penduduk di kampung We diyakini masih pro Indonesia dan dapat diandalkan untuk membantu dukungan logistik pasukan.
Makanan pokok berupa sagu masih mudah didapat sehingga sesuai rencana jika logistik yang dibawa habis, pasukan gerilya bisa memanfaatkan pohon-pohon sagu yang banyak tumbuh di pulau Missol.
Tiga perahu cepat penuh pasukan pun segera melaju membelah laut di tengah kegelapan malam.
Semua pasukan diperintahkan bersiaga dan mengarahkan moncong senapan ke arah depan dan siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Baca juga:Aksi Angkatan Laut dan Korps Marinir AS yang Menjadikan Lautan Sebagai 'Kolam Renang' Raksasa
Tapi dalam perjalanan, setelah melewati perairan perbatasan salah satu speed boat, Puntodewo mengalami kerusakan pada salah satu mesinnya.
Karena upaya perbaikan tidak memungkinkan lagi, speed boat Puntodewo yang juga ditumpangi Capa Djamran akhirnya tetap melanjutkan misi dengan hanya menggunakan sebuah mesin.
Akibatnya, speed boat Puntodewo mengalami pengurangan kecepatan dan sangat berpengaruh kepada jalannya misi infiltrasi secara keseluruhan.
Dua speed boat lain yang telah melaju demi tetap menjalin kesatuan dan kekompakkan saat mendarat pun turut menurunkan kecepatan sesuai kecepatan speed boat Puntodewo.
Dari sisi strategi tempur keputusan untuk melambatkan laju kapal itu jelas akan berpengaruh pada mundurnya waktu pendaratan dan bisa berakibat fatal.
Karena terlalu dipaksakan menjelang 150 meter dari pantai pendaratan, mesin Puntodewo yang satu pun rusak akibat terlalu panas.
Maka segera diperintahkan agar dua speed boat lainnya mendaratkan dulu pasukannya dan kemudian baru menarik Puntodewo ke pantai.
Selama menunggu kapal penarik, keadaan tiba-tiba berubah tegang karena di darat terlihat kode lampu yang diperkirakan dari musuh.
Kondisi tak terduga itu membuat pasukan infltran yang berada di Puntodewo mulai panik dan curiga bahwa mogoknya speed boat disengaja.
Pasukan yang gelisah itu bahkan curiga jangan-jangan Capa Djamran adalah mata-mata Belanda.
Tiba-tiba Capa Djamran ditodong oleh dua anak buah Kompi Nussy, masing-masing berpangkat Sersan dan Kopral sambil menggertak bahwa Capa Djamran adalah mata-mata Belanda.
Capa Djamran terkejut karena senjata yang ditodongkan oleh dua pasukan yang sedang panik itu dalam kondisi magasin terisi penuh dan siap tembak.
Capa Djamran yang berpenampilan brewok dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya lalu menggertak “Saya ini angkatan 45 dan sudah sering mengalami pertempuran di mana-mana!”.
Mendengar perkataan itu kemarahan anggota Kompi Nurssy reda dan mulai tenang.
Untungnya mereka belum mengenal betul Capa Djamran yang sesungguhnya masih muda tapi tampak tua karena berewokan sehingga para anggota Kompi Nussy yang sedang marah bisa dikelabuhi.
Akhirnya dengan ditarik speed boat lain, pasukan di atas speed boat Puntodewo bisa didaratkan dan bergabung dengan pasukan lainnya sebelum pukul 24.00 WIT.
Untuk kembali ke pangkalan di Wahai, Puntodewo ditarik oleh Sadewo yang dipimpin oleh komandan regunya Kopral Sarwo.
Selama perjalanan, teknisi speed boat Kopral Cornelis Bubu berusaha melakukan perbaikan dan berhasil menghidupkan salah satu mesinnya. Esok harinya (8/8).Ketiga speed boat akhirnya bisa tiba dengan selamat di pangkalan Wahai.
Sehari berada di pangkalan Capa Djamran mendapat perintah baru untuk mendrop satu peleton sisa Kompi Nussy dan sekitar 56 personil dari satuan KKO (Marinir) dipimpin Serma Dukri.
Kehadiran pasukan KKO sebagai bagian kekuatan Kompi Nussy itu sebenarnya menimbulkan tanda tanya tapi tak ada satu orang yang bisa menjelaskannya.
Pasukan dari KKO itu tiba di Wahai dengan menumpang Kapal Karata (Pelni). Sebagai pasukan KKO yang terlatih personelnya merupakan KKO pilihan dari sejumlah batalyon dan telah dipersiapkan untuk tugas infiltrasi.
Pelatihan khusus yang diberikan kepada anggota KKO terlatih itu adalah kemampuan mengoperasikan kapal cepat torpedo.
Rencana semula sisa pasukan Kompi Nussy dan personel KKO ini akan diangkut oleh dua kapal speed boat dengan dikawal oeh lima kapal cepat torpedo (MTB-Rusia) di bawah pimpinan Letnan Isman.
Sebagai persiapan misi pada 10 Agustus diadakan briefing di atas kapal Karata yang dipimpin oleh Kolonel (P) Machmud Subarkah.
Dijelaskan bahwa diikutsertakan anggota KKO itu sesuai permintaan Deputi Panglima Komando Mandala Mayjen TNI Soeharto.
Pada 11 Agustus malam pasukan KKO yang sudah terlatih baik diberangkatkan menggunakan tiga speed boat, Anila, Bima, dan Nakula, di bawah pimpinan Capa Djamran disertai lima MTB.
Sesuai rencana semula pasukan KKO akan diangkat menggunakan speed boat tapi kemudian dibatalkan dan diangkut menggunakan MTB mengingat personel KKO terlatih itu bisa mengoperasikan MTB.
Kelima MTB yang dikerahkan dalam misi infiltrasi itu antara lain, RI Badai di bawah komandan Letnan Muda (P) Wiwoho, Angin Gending (Letnan Muda (P) Ketut Temadja), RI Angin Ribut (Letnan (P)) Sujadi), RI Angin Puyuh (Letnan Muda (P) Ari Siswadi), dan RI Prahara (Letnan Muda Andi Mappatola Sultan).
Tiga speed boat tetap disertakan dalam misi itu guna mengangkut sisa pasukan Kompi Nussy.
Sesuai permintaan Capa Djamran formasi kapal saat berangkat adalah paling depan MTB sebagai penunjuk arah dan dua speed boat berada di tengah-tengah dan dua buah MTB yang di belakang.
Capa Djamran yang sudah berpengalaman mengoperasikan speed boat khawatir akan terjadi perubahan arah speed boat secara tak terkendali karena dipukul ombak yang diakibatkan pergerakan MTB.
Selain itu MTB berukuran lebih besar itu juga punya kompas dan radar sehingga bisa berfungsi sebagai penunjuk arah.
Formasi keberangkatan yang kemudian tersusun adalah paling depan RI Badai, berurut ke belakang RI Angin Puyuh dan RI Angin Ribut. Di belakang kanan RI Angin Gending dan di belakang kiri RI Prahara.
Sementarai RI Angin Gending dan RI Prahara agak ke belakang speed boat Bima dan Nakula.
Misi tempur yang berlangsung hampir tengah malam itu membuat seluruh pasukan KKO terdiam dan yang terdengar hanyalah deburan ombak dan mesin kapal.
Semua lampu kapal dimatikan sehingga suasana malam di lautan betul-betul gelap gulita.
Tapi operator kapal di kabin kapal dan komandan kapal terus memantau situasi lewat radar serta bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sekitar pukul 23.00 WIT konvoi kapal pendarat dikejutkan oleh salah satu MTB yang melepaskan rentetan tembakan antiserangan udara.
Rupanya radar salah satu MTB berhasil menangkap kehadiran pesawat tempur Neptune AL Belanda yang sedang terbang mendekat.
Tembakan yang dilepaskan dari MTB segera membuat konvoi dilanda panik khususnya speed boat yang tidak memiliki senjata untuk melawan pesawat tempur dan kapal perang.
Seperti biasa tugas Neptune adalah menembakkan peluru suar untuk menerangi posisi kapal-kapal sasaran.
Hampir dalam waktu bersamaan kapal perang Belanda yang berada di posisi paling depan menembakkan meriam dan roketnya.
Karena antara speed boat dan MTB tidak ada hubungan radio dan mengakibatkan tak ada kontak, maka ketiga speed boat berusaha keras menyelamatkan diri dengan caranya masing-masing.
Dalam situasi chaos dan terus ditembaki kapal-kapal perang Belanda, MTB dengan cepat menghilang sedangkan kedua speed boat yang semula di barisan belakang tetap mempertahankan formasi.
Komandan peleton speed boat, Capa Djamran kemudian mengambil alih pimpinan kapal dan memerintahkan kedua speed boat menerobos kapal perang Belanda menuju sasaran pendaratan.
Perintah itu juga dilaksanakan oleh speed boat Anila yang semula berada di konvoi terdepan.
Setelah melakukan berbagai manuver menghindar, Anila yang dipimpin Danru Sersan Wagito, teknisi Kopral Cornelis Bubu, juru mudi Prada Mustapa dan navigator Prada Sadirin berhasil menerobos kepungan.
Meskipun diburu Neptune, Anila terus melaju menuju daratan tapi ketika berada beberapa ratus meter dari pantai Anila kandas di batu karang.
Dalam posisi diam Anila jelas menjadi sasaran empuk Neptune yang saat itu sedang melaksanakan manuver untuk menembakkan roket.
Untuk menghindari petaka, Sersan Wagito segera memerintahkan semua anggota terjun ke laut dan terjun menuju daratan.
Beberapa saat kemudian roket Neptune mengenai Anila dan membuatnya hancur berkeping-keping.
Berkat dorongan ombak yang besar dua regu Kompi Nussy dan lima awak speed boat berhasil mendarat selamat 8 mil dari kampung We sekitar pukul 23.45 WIT. Demi keamanan dan mengumpulkan tenaga seluruh pasukan untuk sementara diam istirahat hingga dini hari.
Pag hanrinya mereka baru mencari kampung terdekat dan dengan bantuan penduduk yang pro Indonesia mereka dapat bertemu induk pasukan Kompi Nussy.
Karena sudah kehilangan kapal, kalima awak kapal Anila kemudian turut bergabung sebagai pasukan gerilya.
Selama melancarkan perang gerilya di Pulau Missol, pernah terjadi kontak tembak sengit dengan pasukan marinir Belanda. Sebanyak 16 orang marinir Belanda tewas termasuk seorang komandan kompinya Lettu Terzee Wostman.