Setelah sekitar 4 tahun bekerja di departemen penelitian AD Jepang, sebagai seorang peneliti senjata biologi kemampuan Shiro di bidang ilmu bakteri ternyata sangat menonjol.
Kecerdasan Shiro itu membuat AD Jepang terkesima dan kemudian memerintahkannya untuk mendalami ilmunya tentang bakteriologi di Kyoto University.
Tahun 1927, Shiro yang memang berotak cemerlang berhasil meraih gelar Doktor (Phd) sekaligus menikahi puteri Torasaburo Akira yang saat itu menjabat sebagai rektor atau presiden Kyoto University.
Tak lama kemudian Shiro yang berpangkat Kapten telah memiliki berbagai konsep temuan senjata biologi kembali bergabung dengan militer Jepang.
(Baca juga: Waduh, Elon Musk Prediksi Perang Dunia III tapi Penyebabnya Bukan Perang Nuklir. Lalu Apa dong?)
Kebetulan militer Jepang yang saat itu sudah bangkit kembali sedang bersemangat untuk menguasai negara tetangga, China dan negara-negara di wailayah Asia Timur.
Demi kepentingan militer Jepang dan sekaligus melaksanakan missi mata-mata, Shiro kemudian diberi kesempatan untuk bertandang ke Eropa dan AS.
Tujuan utama Shiro dan timnya adalah mempelajari program pembuatan senjata biologi yang sedang dikembangkan AS khususnya cara membuat hujan beracun, hujan kuning.
Agar misinya tidak menimbulkan kecurigaan, militer Jepang menyamarkan tugas rahasia Shiro dan timnya sebagai atase militer.
Hanya butuh waktu dua tahun bagi Shiro untuk malang-melintang di negara-negara Eropa dan AS serta mempelajari dan sekaligus menyerap program pengembangan senjata biologi .
Sekembalinya dari Eopa dan AS, misi Shiro dan timnya yang dinilai sukses oleh militer Jepang tidak hanya membuat pangkatnya naik menjadi Mayor, tapi Shiro juga diberi keleluasaan untuk segera membangun industri senjata biologi.
Upaya Shiro untuk mendirikan industri senjata biologi ternyata mendapat tanggapan positif dari militer Jepang.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR