Selain minim sumber daya alam, jumlah personel militer Jepang juga tidak besar sehingga ketika Jepang kemudian melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya pasti akan mengalami kesulitan untuk mengontrol setiap wilayah yang diduduki.
Untuk menguasai wilayah jajahannya militer Jepang selalu menerapkan disiplin dan kebrutalan. Tindakan brutal diperlukan karena jumlah personel militer Jepang yang sedikit harus mengontrol wilayah yang luas.
Dengan tindakan brutal negara yang sedang dijajah diharapkan enggan melakukan perlawanan.
Tapi aksi kebrutalan itu dirasa tidak cukup karena hanya mampu memberikan efek jera dalam jangka pendek.
Maka untuk menghemat tenaga dan mengelola wilayah jajahan dalam jangka panjang secara efektif mulai muncul pemikiran ekstrem dari sejumlah tokoh militer Jepang.
Salah satu solusi yang kemudian muncul tidak hanya mencerminkan kebrutalan tentara Jepang tapi senjata pemusnah massal yang dioperasikan tanpa perikemanusiaan.
(Baca juga: Siapa Sangka, Kota yang Kini Sangat Megah Ini Pernah Jadi Ajang Pembantaian Pasukan Jepang Pada PD II)
Pasalnya, sumber daya personel militer yang terbatas itu harus digantikan dengan senjata yang sangat efektif membunuh musuh , senjata biologi.
Salah satu tokoh militer Jepang yang kemudian ditugaskan untuk mendalami senjata biologi adalah Mayor Teronobu Hasebe bersama 40 ilmuwan lainnya.
Tapi setelah sekian tahun memimpin tim pembuat senjata kuman itu, progress penelitian tim Hasenebe belum menunjukkan hasil yang signifikan sampai kemudian muncul seorang ilmuwan maniak Jepang yang juga dokter ahli bedah, Ishii Shiro.
Sebagai seorang dokter pendiam yang gemar meneliti organtubuh manusia sekaligus perkembangan kuman, Shiro yang kerap membayangkan bereksperimen dengan manusia hidup merasa menemukan jalan terang.
Maka tidak merupakan hal aneh, Shiro yang lulus dari Kyoto University pada tahun 1920 itu ,memanfaatkan betul peluangnya sewaktu mendapat tawaran untuk mengembangkan kemampuan ilmunya dari Angkatan Darat Jepang.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR