Di usianya yang masih sangat muda, anak-anak di La Puria sudah terpapar situasi perang. Tahun lalu, selama kegiatan terapi seni di sekolah desa, hampir semua anak-anak menggunakan pensil warnanya untuk menggambar dan mewarnai orang-orang yang membawa senjata api.
BACA JUGA : Bukan Hanya Diajak ‘Selfie’, Siswa SMP Ini Juga Diajak Bikin Instastory oleh David Beckham
Warna terang
Untuk pertama kalinya sejak 1960, konflik akhirnya selesai. Meskipun pada 2016, referendum sipil menolak perjanjian damai antara FARC dan pemerintah Kolombia, namun perjanjian ini direvisi dan diratifikasi kembali beberapa bulan kemudian.
Jalan menuju perdamaian memang belum pasti, tapi setidaknya gencatan senjata masih dilakukan.
Sayangnya, setelah perang terhenti, masyarakat La Puria tetap ditinggalkan oleh negara. Tanpa bantuan pemerintah di bidang kesehatan dan pelayanan umum, gizi buruk serta sanitasi yang layak, menambah tantangan yang harus mereka hadapi pascakonflik Kolombia.
“Saya merasa konsekuensi perang masih berlanjut,” ujar Ivan.
BACA JUGA : Ini Hukuman yang Diterima Dua Pemuda yang Injak Tengkorak di Pemakaman Tua Toraja
Meskipun begitu, Ivan melihat sedikit cahaya di sana. Ia terkesima dengan semangat hidup orang-orang La Puria.
“Setelah berjalan jauh dari hutan, saya ingat mencapai tempat di mana terdapat banyak warna – banyak penduduk La Puria yang mengenakan pakaian berwarna terang. Sangat indah melihat warna itu di tengah-tengah tempat kelabu dan penuh kesedihan,” kenang Ivan.
Bagi Ivan yang tidak memahami bahasa Embera, begitu pun penduduk yang tidak mengerti bahasa Spanyol, bahasa visual menjadi satu-satunya penghubung mereka.
“Kami berkomunikasi melalui kamera,” pungkasnya. (Rachel Brown/National Geographic)
Source | : | national geographic indonesia |
Penulis | : | Editorial Grid |
Editor | : | Editorial Grid |
KOMENTAR