Toh, Kapolri untuk periode 1968-1971 ini tetap saja terkagum-kagum terhadap kesederhanaan Hatta.
Kebersahajaan Hatta membuat Hoegeng malu untuk berbuat hina seperti korupsi.
Dia sampai mengelus dada saat tahu betapa miskinnya Hatta ketika mundur sebagai Wapres RI pada 1956.
“Saat itu dia diberitakan hanya punya uang tabungan Rp200. Uang pensiunnya pun tak cukup untuk membayar biaya listrik,” ungkap Hoegeng dalam buku memoarnya.
Sebagai perbandingan, kala itu gaji prajurit terendah TNI ada di kisaran Rp125-150 per bulan.
Jadi, bisa dibayangkan kondisi Hatta kala itu.
Tak Mampu Bayar PAM dan PBB
Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, Ali Sadikin, terenyak.
Dia kaget saat mendengar bahwa Hatta tak mampu membayar iuran air PAM dan PBB saking kecilnya uang pensiun.
Bang Ali terharu melihat kondisi Hatta.
Hal itu dikisahkan Ali dalam biografinya “Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977.”
Tak cuma terharu, Bang Ali langsung bergerak.
Dia melobi DPRD DKI untuk menjadikan Bung Hatta sebagai warga kota utama.
Dengan begitu Bung Hatta terbebas dari iuran air dan PBB.
DPRD setuju.
Pemerintah Pusat juga memberikan sejumlah bantuan, di antaranya bebas bayar listrik.
Baca Juga : Antara Bung Hatta dan Zumi Zola, Sepenggal Kisah yang Mengiris Hati
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR