Advertorial
Intisari-Online.com –1 Desember 1956 atau tepat 62 tahun lalu dari hari ini, Bung Hatta menunjukkan kebesaran hatinya dengan mengundurkan diri sebagai wakil presiden Indonesia dan memilih jadi rakyat biasa.
--
Kisah-kisah seputar Bung Hatta biasanya berkutat mengenai ketegasannya pada prinsip, atau, yang paling terkenal dan banyak dikagumi, adalah mengenai kesederhanaannya.
Kesederhanaan yang tidak hanya muncul saat dirinya menjabat sebagai wakil presiden, namun juga setelah dirinya pensiun. Berikut ini tiga kisahnya.
Baca Juga : Ajaran Bung Hatta untuk Anaknya: Membantu Orang Lain Tak Harus Menjadi Jutawan Dulu
Saat ini seorang pejabat naik haji dengan fasilitas negara adalah hal yang jamak.
Andai Hatta masih hidup, jangan pernah sekali-kali menanyakan perkara itu kepadanya.
Sudah pasti akan ditolaknya mentah-mentah fasilitas tersebut.
Pada 1952, Hatta hendak melakukan ibadah haji bersama istri dan dua saudarinya.
Baca Juga : Menurut Putrinya, Meski Seorang Proklamator Bung Hatta Tak Pernah Sombong
Waktu itu Bung Karno menawarkan agar menggunakan pesawat terbang yang biayanya ditanggung negara.
Tapi Hatta menolak karena ia ingin pergi haji sebagai rakyat biasa, bukan sebagai wakil presiden.
Akhirnya Hatta bisa menunaikan rukun Islam kelima tersebut.
Dari mana uangnya?
Bukan dari negara melainkan dari hasil honorarium penerbitan beberapa bukunya.
Menginspirasi Jenderal Hoegeng
Jenderal Hoegeng Imam Santoso adalah jenderal polisi yang melegenda karena kejujuran dan kesederhanaannya.
Baca Juga : Kesederhanaan, Sifat Bung Hatta yang Paling Banyak Dikagumi, Namun Justru Paling Sulit Ditiru
Toh, Kapolri untuk periode 1968-1971 ini tetap saja terkagum-kagum terhadap kesederhanaan Hatta.
Kebersahajaan Hatta membuat Hoegeng malu untuk berbuat hina seperti korupsi.
Dia sampai mengelus dada saat tahu betapa miskinnya Hatta ketika mundur sebagai Wapres RI pada 1956.
“Saat itu dia diberitakan hanya punya uang tabungan Rp200. Uang pensiunnya pun tak cukup untuk membayar biaya listrik,” ungkap Hoegeng dalam buku memoarnya.
Sebagai perbandingan, kala itu gaji prajurit terendah TNI ada di kisaran Rp125-150 per bulan.
Jadi, bisa dibayangkan kondisi Hatta kala itu.
Tak Mampu Bayar PAMdan PBB
Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, Ali Sadikin, terenyak.
Dia kaget saat mendengar bahwa Hatta tak mampu membayar iuran air PAM dan PBB saking kecilnya uang pensiun.
Bang Ali terharu melihat kondisi Hatta.
Hal itu dikisahkan Ali dalam biografinya “Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977.”
Tak cuma terharu, Bang Ali langsung bergerak.
Dia melobi DPRD DKI untuk menjadikan Bung Hatta sebagai warga kota utama.
Dengan begitu Bung Hatta terbebas dari iuran air dan PBB.
DPRD setuju.
Pemerintah Pusat juga memberikan sejumlah bantuan, di antaranya bebas bayar listrik.
Baca Juga : Antara Bung Hatta dan Zumi Zola, Sepenggal Kisah yang Mengiris Hati