Tatkala Mankubumi meninggalkan kraton Surakarta, maka resminya ia berontak terhadap susuhunan Paku Buwono II. Tetapi susuhunan Mataram dan Kompeni terikat oleh suatu pakta yang antar lain mengandung suatu pasaI mengenai saling bantu dalam keadaan ada perang.
Lagi pula, susuhunan Mataram sejak Paku Buwono I adalah pilihan Kompeni yang dianggap menjamin kepentingan Kompeni di Mataram. Apalagi setelah Paku Buwono II secara resmi menyerahkan kerajaan Mataram kepada Kompeni, maka susuhunan Mataram dan Kompeni telah menjadi satu; artinya Kompenilah yang merupakan sata-satunya pihak yang berdaulat.
Karena ita wajarlah apabila Persetujuan Giyanti ditandatangani oleh Mangkubumi dengan pihak Kompeni dan bukan dengan pihak susuhunan Mataram.
Sesudah Perang menginjak fase kedua, masing-masing pihak telah mengetahui, bahwa tidak ada yang dapat mencapai suatu kemenangan total. Karena itu dimulailah mencari jalan keluar dari sengketa itu secara yang tidak terlalu merugikan bagi masing-masing pihak.
Nicolaas Hartingh, Gubernur dan Direktur urusan Jawa dari pihak Kompeni beruntung karena ia menghadapi Mangkubumi yang telah pecah dengan Said dan telah mengalami Perang selama bertahun-tahun.
Lagipula Hartingh rupa-rupanya lebih mengenal watak orang Jawa, sehingga pendekatannya lebih halus daripada von Hohendorff. Karena itu ialah yang dapat mengakhiri Perang itu bagi Kompeni.
Selama fase ketiga, antara Mangkubumi dan Hartingh telah dilakukan diplomasi rahasia yang berisi pertukaran usul-usul perdamaian. Pada akhirnya Mangkubumi mundur dari tuntutannya semula, yakni seluruh kerajaan Mataram.
Kini ia bersedia menerima separuh daripada kerajan Mataram. Atas dasar itulah persetujuan Giyanti dirumuskan.
Pembentukan kesultanan Yogyakarta
Dengan menandatangani Persetujuan Giyanti itu Kompeni mengakui Pangeran Mangkubumi (yang kemudian mengambii nama Hamengku Buwono I) selaku sultan atas separuh daerah pedalaman kerajaan Mataram dengan gelar dan hak mengganti bagi anak-keturunannya.
Sebaliknja Mangkubumi mengakui Kompeni sebagai pedaulat atau "souverein"-nya atau "leenheer"-nya.
Dua hari sebelum penandatanganan Persetujuan Giyanti, dimulailah pembagian wilayah Mataram atas dua bagian. Dari pihak Yogyakarta bertindak sebagai anggota panitia pembagian: Raden Tumenggung Judonegoro, Pangeran Pakudiningrat, dan Kapten Donkel.
Dari pihak Surakarta tampil kemuka: Raden Adipati Pringgoloyo, Nhabehi Tirtonegoro dan Kapten Abrahams. Keesokan harinya pembagian wilayah telah selesai.
Sehari kemudian Persetujuan Giyanti ditandatangani dan dengan demikian secara resmi kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri. Sejak saat itu Sultan Hamengku Buwono I mulai memikirkan pembangunan kraton dan ibukotanya.
Tempat kraton dan ibukota itu akhirnya diputuskan di sebuah hutan yang bernama hutan Bringan. Selama pembangunan kraton dilakukan, Sri Sultan berdiam di sebuah istana sementara di Gamping.
Baru setahun kemudian kraton baru selesai. Menurut kapujanggan kraton Yogyakarta, selesainya kraton adalah pada hari Kemis Pahing, tanggal 13 Sura-Jimakir 1682 atau 7 Oktober 1756.
Peristiwa itu diperingati dengan candrasengkala: "Dwi Naga Rasa Tunggal". Tanggal itulah yang secara resmi diakui sebagai hari lahir kota Yogyakarta.
Demikianlah setjara singkat kisah pembentukan kesultanan Yogyakarta.
Ditulis oeh Nugroho Notosusanto. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1970)
(Baca juga: Bikin Ngakak! Editan Photoshop Terhadap Pasangan Ini Sungguh Kelewat Batas!)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR