Biarlah mereka berdampingan sehidup dan semati. Kami hanya bisa berdoa agar arwah mereka mendapat tempat yang layak di sisiNya.
Mantu sendiri
Berbagai macam persoalan timbul silih berganti semenjak kami betul-betul tidak mempunyai orangtua lagi. Dan itu harus kami hadapi bersama. Ayah tidak banyak meninggalkan warisan pada kami, karena beliau memang tidak menginginkan kami memperebutkan harta warisan.
"Memalukan,” kata beliau. Dan setelah lewat 100 hari kematiannya, kami semua bersiap-siap menyelenggarakan pesta pernikahan kakak kami yang dulu tertunda.
Lucu sekali rasanya waktu itu. Seakan-akan kamilah yang akan mantu. Segala persiapan kami kerjakan bersama, dengan bantuan sanak saudara dan teman-teman kami sendiri.
Mulai dari menyusun acara, membuat naskah undangan, mengirim undangan dan segalanya, kami kerjakan sendiri. Dan ketika tiba hari pernikahan, rasa sedih tidak bisa dibendung lagi
Tidak ada upacara "sungkeman", karena kakak saya hanya mau sungkem pada orangtua kandung saja. Dan syukurlah semua berjalan menurut rencana. Pesta yang kami adakan betul-betul dari dan untuk orang muda.
Tentu saja ada beberapa teman ayah ibu yang hadir. Tetapi rata-rata, teman-teman kamilah yang menghadiri pesta tersebut.
Dengan perkawinannya, berarti kakak saya harus tinggal di tempat lain. Karena memang kami sudah mengadakan perjanjian, bahwa yang sudah berkeluarga tidak boleh tinggal di rumah dan mencampuri urusan kami, toh mereka sudah cukup dipusingkan oleh keluarganya.
Pembagian tugas harus diperbaharui. Sekarang sayalah yang memegang uang (menteri keuangan, menurut istilah keluarga kami). Kakak laki-laki ditugaskan merawat mobil yang kami miliki dan sedapat mungkin memperbaiki sendiri bila terjadi kerusakan-kerusakan.
Dengan pemasukan uang yang tidak seberapa (karena sekarang tidak ada lagi yang memberi penghasilan), saya harus berusaha agar uang tidak tekor.
Kami tidak mendapat uang pensiun, karena ayah meninggal sebelum masa tugasnya berakhir. Kalau keluarga lain, mungkin masih bisa bergantung pada pensiun janda. Tetapi inipun tidak kami perolch; ibu meninggal lebih awal dari pada ayah.
Uang yang kami terima setiap bulan, adalah uang tunjangan yatim piatu, dan ini hanya kami peroleh sampai kami berusia 23 tahun. Pengeluaran direncanakan seteliti mungkin, jangan sampai terjadi pemborosan.
Tetapi kami semua tetap bersekolah, karena kami masing-masing ingin mewujudkan keinginan orangtua kami; belajar untuk kemudian bisa berdiri sendiri.
Ketika itu kami berlima sudah menjadi mahasiswa di universitas negeri, jadi biaya tidak terlalu besar. Hanya dua adik kami yang masih membutuhkan biaya yang lumayan besarnya.
Tuhan yang adil kali ini mendengar doa kami. Kami tidak pernah dibuatNya sampai menderita kelaparan, diberiNya kami jalan untuk mendapatkan rezeki, sehingga kami tetap bisa melanjutkan sekolah.
Kalau hari lebaran tiba
Hanya pada saat-saat tertentu, kami sangat terenyuh. Pada hari Lebaran, misalnya. Kami semua, hanya dapat mengunjungi makam orangtua kami, sementara orang lain berbahagia bersama orangtua dan sanak saudaranya.
Juga bila melihat keadaan teman-teman kami yang beruntung masih memiliki orangtua. Begitu pula ketika keponakan kami yang pertama lahir. Kami semua membayangkan, alangkah bahagiahya bila ayah ibu masih ada, menimang cucu mereka.
Kemudian kakak yang kedua menikah. Sekali lagi kami "mantu". Kali ini tidak terlalu "membingungkan", karena kami sudah berpengalaman. Rumah makin bertambah sepi. Satu persatu meninggalkan rumah, walaupun pada akhir pekan kami berusaha untuk berkumpul.
Semua datang menginap di rumah, sehingga kegembiraan yang sejenak bisa menghapuskan kesepian.
Kini, setelah tiga tahun kami menjadi yatim piatu, terasa bahwa apa yang dinasihatkan orangtua kami sangat berguna. Dengan persaudaraan yang erat, musyawarah bersama, kami dapat mengatasi persoalan hidup yang datang silih berganti.
Masing-masing kini sudah mulai berdiri sendiri. Dengan keahlian yang kami miliki, kami mulai untuk tidak lagi menggantungkan diri pada keuangan keluarga.
Perjalanan hidup kami masih panjang, dengan segala rintangan dan kesenangannya. Tetapi kami sudah terbiasa dengan kehilangan-kehilangan dan kenyataan pahit yang harus dihadapi.
Hanya dengan bekal persaudaraan yang erat dan berusaha keras untuk menyelesaikan sekolah, kami akan terus berusaha untuk tetap menjaga nama baik orangtua kami. Karena hanya itulah yang dapat kami lakukan untuk membalas budi mereka, dan hanya di situlah letak kebahagiaan kami.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1981)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR