Advertorial

Menurut Penelitian, Inilah Alasan Kenapa Budaya Rokok di Indonesia Tetap Langgeng Bahkan Cenderung Meningkat

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Perusahaan tembakau telah banyak melakukan investasi di lobi pemerintah, menggembar-gemborkan industri rokok sebagai bagian penting dari ekonomi Indonesia.
Perusahaan tembakau telah banyak melakukan investasi di lobi pemerintah, menggembar-gemborkan industri rokok sebagai bagian penting dari ekonomi Indonesia.

Intisari-Online.com- Indonesia menduduki peringkat teratas dunia untuk konsumsi rokok: 56 persen laki-laki pada 2000 dan meningkat menjadi 76 persen pada 2015.

Sedangkan jumlah wanita hanya 4 persen dan terus menurun.

Merokok telah menjadi trend di setiap kalangan, baik laki-laki dewasa atau anak-anak.

Pada 2010 bahkan diketahui kedapatan anak berusia 2 tahun yang kecanduan rokok.

Baca Juga:Demi Memandu Burung-burung yang Bermigrasi, Pria Ini Terbang Bersama Puluhan Burung

Baca Juga:Menakjubkan! Inilah 10 Jepretan Foto dari Drone yang Paling Indah Sepanjang Tahun 2017

Bagaimana ini dapat terjadi?

Di negara-negara Barat, berkat perkembangan ilmu medis yang membuktikan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker membuat para perokok mulai meninggalkannya.

Jumlah perokok aktif dewasa di Amerika Serikat telah turun dari puncak 45% pada 1950 menjadi sekitar 15% hari ini.

E-rokok dan vapor kemudian muncul menjadi tren di awal dekade ini, termasuk penggunaannya di kalangan remaja.

Merokok di tempat umum relatif jarang terlihat di kota-kota besar.

Ini adalah bagian penting dari upaya mengurangi penyakit dan kematian yang dihadapi ratusan ribu orang Amerika.

Namun, industri tembakau tetap bertahan, bahkan meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.

Strateginya adalah dengan berfokus pada negara dengan aturan anti rokok yang lemah dan budaya merokoknya tinggi.

Akibatnya, meskipun keseluruhan tingkat perokok dewasa aktif di dunia telah menurun, namun di negara-negara tertentu justru meningkat.

Indonesia adalah kasus yang paling ekstrem.

Baca Juga:Ketika Sebuah Permen Karet Diterjunkan Sebagai Ultimatum untuk Mengusir Jepang

Baca Juga:Obsesi Ramuan Kehidupan Abadi Kaisar Legendaris China Terungkap Lewat Tulisan Berusia 2.000 Tahun

Menurut Richard dilansir pada JStor, ini dikarenakan liberalisasi ekonomi rezim Soeharto yang membuka industri rokok kepada investor asing pada akhir 1990an.

Selain itu, Indonesia memiliki aspek unik yakni popularitas "kretek," rokok campuran tembakau dan sepertiga cengkeh cincang.

Setelah sukses memasarkan rokok polos "putih" di Indonesia, perusahaan rokok multinasional Philip Morris International (PMI) dan British American Tobacco (BAT) membeli produsen kretek Sampoerna dan Bentoel pada tahun 2009.

BAT sebenarnya telah menyadari bahaya eugeneol dari rokok sejak 1960an, namun perusahaan telah berinvestasi dalam lobi pemerintah.

Mereka mendorong industri rokok sebagai pilar ekonomi sentral di Indonesia.

Lobi yang efektif telah memungkinkan PMI dan BAT untuk menggunakan berbagai media pemasaran yang sesuai dengan selera kelas menengah dan atas, termasuk sponsor acara budaya dan hiburan.

Selain itu wacana kesan maskulinitas yang ditimbulkan oleh rokok juga melanggengkan eksistensi rokok.

Jika dahulu merokok diidentifikasikan dengan kelas pekerja Indonesia, kini ia melebar ke kalangan umum.

Baca Juga:Inilah Aina Gamzatova, Perempuan Muslim yang Siap Menantang Vladimir Putin dalam Pemilihan Presiden Rusia

Artikel Terkait