Sebuah konsep strategi tempur yang kala itu dinilai masih baru dan sangat tidak disetujui perwira angkatan lain.
Tapi Leo berpendapat bahwa sebuah operasi militer apapun harus dilindungi oleh payung udara, oleh jet-jet tempur canggih, bukan semangat tempur semata yang dikedepankan.
Dari sinilah Leo sebagai Wakil-II Panglima menunjukan konsep peperangan yang baru.
Ia mengetengahkan bahwa operasi militer perebutan Irian Barat hanya dapat dilakukan bila Angkatan Udara dan Angkatan Laut telah memiliki kekuatan yang mampu dihadapkan kepada lawan.
Selain itu Leo juga menyarankan kekuatan militer yang kuat akan mendukung diplomasi yang dijalankan.
Dengan demikian bisa diperoleh waktu tentatif operasi adalah pertengahan tahun 1962 setelah alutsista dari Rusia masuk arsenal Indonesia.
Berbekal rencana operasi militer yang akademis inilah, sebelum operasi dijalankan Pemerintah telah menganugrahkan Bintang Sakti untuk Leo berdasar Keputusan Presiden nomor.372 tertanggal 1 Juni 1961.
Bintang Sakti ini juga dianugrahkan kepada Rusmin Nuryadin sebagai Penerbang Jet Pertama.
Koleganya yang bertugas di Komanda Mandala baru mendapat Bintang Sakti belakangan seperti Sudomo yang mendapatkannya pada tahun 1970 (Keppres No: 061/TK/1970 tertanggal 29 September 1970).
Sedangkan Panglima Mandala, yang juga Presiden RI malah lebih belakangan lagi yaitu pada tahun 1988 bersamaan dengan Penganugrahan Kehormatan sebagai Jenderal Besar berdasar Keppres No: 029/TK/1988 tertanggal 27 Mei 1988.
Leo memang istimewa, sebelum operasi dilaksanakan Bintang Sakti telah didapat sementara kebanyakan Bintang Sakti baru dianugrahkan setelah operasi berlangsung.
Selain itu selepas Irian Barat kembali ke RI Leo diangkat sebagai Panglima Kohanudnas merangkap sebagai anggota MPRS dengan bintang dua di pundaknya pada umur 35 tahun.
Namun, di masa Orde Baru, pilot tempur kelahiran Singkawang (3 Juli 1927) ini “tersingkir” ke Italia sebagai Duta Besar dan meninggal pada usia yang sangat muda yaitu 47 tahun.
Leo kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Dengan wafatnya Leo, terkubur pula kenangannya sebagai Perwira Tinggi pertama Indonesia yang menginjakkan kaki di Irian Barat.
Sekligus pilot tempur yang berani terbang di bawah kolong jembatan Ampera, Palembang, menggunakan jet tempur MiG-17.
(Baca juga: Demi Hancurkan 60 Ranpur Lawan, Pilot Tempur AURI Ini Nekat Jatuhkan Pesawatnya)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR