Begitu ia sulit bernapas, segera mulai diberi pernapasan buatan dari mulut ke mulut, seperti pada keracunan gas mostar.
Akan tetapi berbeda dengan keracunan pada gas mostar, pada kecelakaan gas fosfor ini kepala dan dada korban justru diusahakan lebih rendah letaknya, agar bisa batuk mengeluarkan lendir yang terkumpul dalam tenggorokan.
Jangan sampai masuk ke paru-paru.
Sampai tahun 1945, negara-negara sekutu lawan Jerman tidak tahu bahwa Hitler membuat gas itu secara besar-besaran.
Akan tetapi Hitler ternyata tidak memakai gas itu terhadap tentara sekutu yang mendarat di Normandia.
Kata Hermann Goring (salah seorang pembantunya), karena tentara Jerman masih banyak menggunakan kuda sebagai "alat" transportasi dalam perang. Bagaimana kalau kuda-kuda ini terkena gas itu juga? Kuda lumpuh toh tidak mungkin diajak berperang!
Untung tidak jadi!
Inggris tidak mau kalah, dan berhasil menciptakan bom berisi bakteri antraks. Bakteri penyerang ternak ini juga mematikan bagi orang.
Menyentuh daging yang terkena antraks saja sudah menimbulkan radang pada kulit yang kemudian meracuni darah.
Menghirup spora bakteri itu lebih berbahaya lagi. Dalam beberapa jam saja, korban sudah sulit bernapas, lalu tewas. Daerah yang terkena antraks akan bertahun-tahun lamanya tidak bisa didiami orang.
(Baca juga: Gas Syaraf VX, Senjata Kimia yang Jadi Racun Pembunuh Kim Jong-nam)
Perang yang menggunakan makhluk hidup sebagai senjata ini dikonperensiperskan sebagai perang biologis atau perang bakteri.
Pada 1942, bom antraks Inggris itu diujicobakan di Pulau Gruinard, Skotlandia. Sampai tahun 1987, (jadi sesudah 45 tahun), pulau itu masih saja tercemar bakteri maut itu, meskipun setahun sebelumnya sudah disucihamakan dengan 283 ton formaldehida yang dilarutkan dalam 2.000 ton air laut.
Alangkah mahalnya tindakan pemulihan lingkungan yang rusak gara-gara nafsu perang itu.
Bom antraks tidak jadi dipakai dalam PD II, karena pabrik pembuatnya tidak mampu memasoknya dengan cukup untuk angkatan bersenjata.
Maklumlah, membiakkan bakteri tidak secepat meramu obat sintetis. Untung tidak jadi.
(Artikel ini ditulis oleh Slamet Soeseno, dan pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1991)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR