Sekiranya, kebutuhan ini harus diperhatikan pasangan yang bercerai. Salah satu cara, misalnya, anak tetap berkesempatan untuk rutin bertemu dan menghabiskan waktu bersama salah satu orangtuanya meski tak tinggal bersama.
Juga, kesempatan ini dijadwalkan secara rapi sehingga anak merasa tenang kebutuhannya pasti terpenuhi.
(Baca juga: Anak dari Orangtua Tunggal Bukan Produk Gagal)
(Baca juga: Kisah Seorang Wanita Mengatasi Segalanya dari Kebutaan Hingga Menjadi Ibu Tunggal)
Pentingnya dukungan lingkungan keluarga
Ketiadaan salah satu orangtua ternyata bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh pada perkembangan anak.
“Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan anak pasca-perceraian,” kata Vera.
Di antaranya, keberadaan figur pengganti dari salah satu orangtua yang tidak tinggal bersama anak (nenek atau tante sebagai figur pengganti ibu ketika anak tinggal bersama bapaknya sebagai orangtua tunggal); komunikasi yang baik antara orangtua tunggal dengan anak agar keresahan anak selalu terpantau; serta adanya penjelasan dari orangtua tentang konsep keluarga bahwa keluarga tidak sebatas ayah, ibu, dan anak, tapi dia tetap bahagia dengan keluarga yang terdiri dari ibu, kakek, nenek dan anak (dirinya).
Menurut John W. Santrock dalam buku Adolescence (Erlangga, 2003), ada banyak faktor lain—selain struktur keluarga—yang perlu diteliti untuk menjelaskan perkembangan anak. Salah satunya adalah usia.
Respons anak terhadap perceraian dipengaruhi beberapa hal, seperti ketergantungan mereka terhadap orangtua dan kemungkinan kurangnya perhatian.
Sepuluh tahun setelah perceraian, misalnya, anak-anak mungkin hanya akan memiliki sedikit ingatan mengenai luka mereka saat orangtua bercerai.
Walau demikian, kira-kira sepertiga dari anak-anak terus mengekspresikan kemarahan karena tidak bisa tumbuh dalam sebuah keluarga utuh yang tidak bercerai.
Ini terjadi pada Asti, yang pada bagian sebelumnya, namanya sudah disebut. Ia, di masa-masa awal perceraian orangtuanya, sempat merasakan kemarahan yang tidak terarah.
Ungkapan-ungkapan seperti “Kenapa keluarga saya?”, “Kenapa saya tidak memiliki keluarga utuh?”, atau “Mungkin hidup saya lebih baik kalau keluarga saya utuh” benar-benar muncul.
Pada Ani, perkembangan pribadinya tetap baik karena ia dibesarkan oleh seorang ibu yang kerap menanamkan nilai-nilai agama padanya.
Juga, ia dikelilingi oleh lingkungan yang hangat, baik dari kerabat dekat maupun teman-teman.
Namun, ini tidak terjadi pada Laura. Orangtuanya bercerai ketika ia masih bayi; berusia sekitar 10-11 bulanan—menurut ingatannya.
Karena tidak ada ingatan apa pun tentang fase perceraian orangtuanya, Laura tidak mengalami depresi atau sejenisnya. Ditambah, hubungan ibu dan bapaknya pasca-perceraian cenderung baik.
Laura diasuh keluarga ibu dari bayi hingga lulus SD. Awal SMP sampai dewasa, ia diasuh bapak. Jadi, atmosfer yang dibangun memang tenang, sehingga membuat proses kembang-tumbuh Laura sangat baik.
Perceraian jelas menyeret pula anak-anak ke dalam masalah.
Namun, dengan pendampingan yang tepat, anak-anak dari keluarga yang bercerai bisa jadi lebih minim konflik dibanding anak-anak dari keluarga yang utuh.
Kuncinya sederhana. Jangan pernah sekalipun mencetuskan kata-kata yang membuat anak seolah menjadi penyebab perceraian, atau menjadikan anak sebagai tempat tumpahan kekesalan terhadap mantan pasangan.
Apalagi, sampai ada kasus perebutan anak atau ketidakjelasan waktu pertemuan anak dengan ibu atau ayahnya.
Singkatnya, “Orangtua yang bercerai harus membuat satu kesempatan untuk bicara dari hati ke hati dengan anak untuk menjelaskan apa yang terjadi, sampai sejelas-jelasnya,” tutup Vera.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR