Advertorial
Intisari-Online.com- Tahukah Anda, diperkirakan ada lebih dari 33 juta orang di Amerika Selatan yang bercerai, dan 5 juta lainnya berpasangan tetapi hidup terpisah?
Ini adalah riset dari The Institute for Divorce Financial Analysts (IDFA) yang dikatakan Carolyn B. Ellis dalamThe 7 Pitfalls of Single Parenting: What to Avoid to Help Your Children(iUniverse, 5 April 2012).
Pada kasus lainnya, setiap perceraian atau perpisahan melibatkan lebih dari 1 juta anak-anak di Amerika Serikat, dan lebih dari 36.000 anak-anak di Kanada setiap tahunnya.
(Baca juga:Siapa Bilang Jadi Anak Tunggal Itu Pasti Egois dan Kesepian, 15 Fakta Ini Buktikan Sebaliknya)
(Baca juga:Berbahagialah Jika Anda Jadi Anak Pertama, Sebab Studi Membuktikan Anak Sulung Lebih Cerdas!)
Jika penghitungan ini dilakukan di Jakarta, Asti mungkin salah satu di antara jumlah total tersebut.
Ketika harus menghadapi perceraian orangtua, usianya masih belia; usia 12 tahun kala itu. Selayaknya anak-anak, ia tidak tahu alasan jelas yang menyebabkan ibu dan ayahnya berpisah.
Yang jelas, kehidupan berubah sejak itu. Ia tumbuh bersama ibu. Sementara, bapak ada di satu titik; mengawasi dan terasa jauh. Saat itulah Asti menyadari bahwa hidup tidak akan pernah sama lagi.
Tapi, apakah hidup lantas tidak bisa tetap sempurna, meski hanya dengan satu orangtua?
Orangtua dan anak sama-sama terluka
Mengasuh anak bisa jadi adalah pekerjaan yang paling banyak menuntut di dunia ini. Ia menuntut keberadaan. Ia menuntut konsistensi.
Ia menuntut kesetiaan. Ia juga menuntut kesabaran. Semua itu dilakukan secara terus-menerus, tidak ada habisnya.
Lalu, bagaimana sepasang orangtua harus tetap fokus menjaga anak mereka ketika hati sedang terluka karena perceraian?
Dalam bukuThe 7 Pitfalls of Single Parenting: What to Avoid to Help Your Children, setidaknya ada lima fase yang harus dirasakan seseorang pasca-perceraian. Pertama, terkejut.
Di fase ini kita akan mendapati identitas sosial, situasi ekonomi, hubungan dengan keluarga, semua berubah. Lalu, akan ada fase marah.
Di sini, kita akan merasa menjadi “korban” dan kita tidak melihat pelajaran apa pun dari sebuah perceraian, kecuali penderitaan. Padahal kenyataannya, kitalah yang tidak membuka diri kita untuk segala pelajaran apa pun.
Ketika kemarahan mereda, kita akan mengalami masa transisi. Di sinilah kita akan lebih terbuka melihat permasalahan.
Kita bahkan akan mencari tahu hikmah yang terjadi dari perceraian yang baru terjadi. Masa transisi berlalu. Kita akan tiba di fase berduka. Silakan saja untuk merasa kesepian dan bersedih.
Wajar, karena kita kehilangan pasangan hidup, kehilangan visi tentang suatu kehidupan pernikahan yang bahagia, dan lain-lain. Tapi, ketika duka itu reda, akan hadir fase penerimaan.
Di fase inilah, kita akan merasa sudah saatnya memulai hidup baru. Kita lalu akan menciptakan visi baru dalam hidup Anda yang melibatkan anak.
Para orangtua pada akhirnya bertanggung jawab akan masa depan anak mereka.
Ketika menghadapi perceraian atau perpisahan, sebetulnya masing-masing pasangan yang bercerai memiliki hanya dua pilihan: apakah terus-menerus tenggelam dalam duka karena perpisahan dan membesarkan anak dalam atmosfer yang dingin, penuh benci, dan marah, atau pilihan kedua, bersegera menyembuhkan sakit hati sehingga mampu memberikan anak cinta yang cukup dan dukungan yang mereka butuhkan.
Perlu disadari, anak-anak juga melalui fase emosional yang sama dengan yang orang dewasa rasakan.
Masih menurut Ellis, bahkan kerap anak-anak mengimajinasikan beberapa hal dalam kepalanya tentang perceraian ayah dan ibunya.
Misalnya, anak-anak cenderung akan menganggap perceraian terjadi karena kesalahannya. Hal ini secara naluriah muncul dalam diri anak.
Lalu, anak di banyak kasus perceraian juga kadang-kadang percaya jika mereka bersikap baik, mereka bisa melihat orangtuanya kembali bersama.
Patut diingat, bagi anak, proses perceraian juga tidak mudah; sama tidak mudahnya seperti yang dihadapi sang orangtua.
(Baca juga:Catat! Inilah Gejala Kecanduan ‘CyberSex’ yang Bisa Renggangkan Kontak Seksual Hingga Picu Perceraian)
(Baca juga:Inilah 6 Hal yang Bisa Dipelajari Setiap Pasangan dari Perceraian Brad Pitt dan Angelina Jolie)
Bercerai dan tetap positif
Banyak studi dilakukan oleh para peneliti.
Objek penelitiannya adalah anak dari orangtua tunggal dan anak dari keluarga utuh. Dr. Joan Kelly, peneliti, menyatakan bahwa yang perlu diperhatikan dari anak yang baru menghadapi perceraian orangtuanya adalah ketahanannya dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dan tekanan lingkungan (The 7 Pitfalls of Single Parenting, 2012).
Hasilnya, diketahui bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai cenderung akan bersikap kekanak-kanakan, agresif, impulsif, dan antisosial.
Hubungan dengan sahabat dan anggota keluarga juga terganggu, bahkan bisa sampai mengganggu kehidupan sekolah.
Tercatat, anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai 2-3 kali lebih banyak mengalamidrop outdibanding anak-anak dari keluarga utuh.
Dampak lainnya adalah anak sering dirundung kecemasan, depresi, dan memiliki kepercayaan diri rendah.
Perceraian memang pasti mempengaruhi kehidupan anak-anak. Namun, tidak selamanya itu berkonotasi negatif.
Menurut Dwiyani dalamJika Aku Harus Mengasuh Anakku Seorang Diri(Elex Media Komputindo, 2009), “Anak-anak dari orangtua tunggal bisa sangat mandiri, hangat, peduli, empatik, dan terbuka.”
Jadi, stigma yang mengatakan bahwa anak-anak dari keluarga cerai itu akan tumbuh menjadi anak yang nakal, sangat keliru.
Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi., dari Lembaga Psikologi Terapan UI, berpendapat, “Tidak selalu anak yang orangtuanya gagal membina rumah tangga akan gagal pula dalam kehidupannya. Banyak ragam faktor yang dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang.”
Langkah pertama untuk menciptakan lingkungan yang baik untuk perkembangan anak pasca-perceraian adalah keberanian orangtua yang mengakui bahwa ia kini berperan sebagai orangtua tunggal.
Keberanian ini besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak-anak Anda. Ketakutan dan kekhawatiran akan membuat Anda hanya terus-menerus menyesali keadaan, menyalahkan keadaan, bahkan tidak menutup kemungkinan juga menyalahkan anak.
Karena itu, berhentilah. Anak butuh didampingi, dan anak membutuhkan dukungan mental dari ibu atau ayahnya.
Vera menyatakan, penting pula untuk meyakinkan anak bahwa perceraian bukan terjadi karena perilaku anak-anak yang tidak baik.
Bahwa anak akan tetap disayang dan diinginkan walaupun ibu dan ayahnya berpisah.
Di samping itu, masih menurut Vera, agar perkembangan anak tetap baik, idealnya, setelah terjadi perceraian anak masih memperoleh kasih sayang dan perhatian yang seimbang dari ibu dan bapaknya; walaupun terpisah.
Sekiranya, kebutuhan ini harus diperhatikan pasangan yang bercerai. Salah satu cara, misalnya, anak tetap berkesempatan untuk rutin bertemu dan menghabiskan waktu bersama salah satu orangtuanya meski tak tinggal bersama.
Juga, kesempatan ini dijadwalkan secara rapi sehingga anak merasa tenang kebutuhannya pasti terpenuhi.
(Baca juga:Anak dari Orangtua Tunggal Bukan Produk Gagal)
(Baca juga:Kisah Seorang Wanita Mengatasi Segalanya dari Kebutaan Hingga Menjadi Ibu Tunggal)
Pentingnya dukungan lingkungan keluarga
Ketiadaan salah satu orangtua ternyata bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh pada perkembangan anak.
“Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan anak pasca-perceraian,” kata Vera.
Di antaranya, keberadaan figur pengganti dari salah satu orangtua yang tidak tinggal bersama anak (nenek atau tante sebagai figur pengganti ibu ketika anak tinggal bersama bapaknya sebagai orangtua tunggal); komunikasi yang baik antara orangtua tunggal dengan anak agar keresahan anak selalu terpantau; serta adanya penjelasan dari orangtua tentang konsep keluarga bahwa keluarga tidak sebatas ayah, ibu, dan anak, tapi dia tetap bahagia dengan keluarga yang terdiri dari ibu, kakek, nenek dan anak (dirinya).
Menurut John W. Santrock dalam bukuAdolescence(Erlangga, 2003), ada banyak faktor lain—selain struktur keluarga—yang perlu diteliti untuk menjelaskan perkembangan anak. Salah satunya adalah usia.
Respons anak terhadap perceraian dipengaruhi beberapa hal, seperti ketergantungan mereka terhadap orangtua dan kemungkinan kurangnya perhatian.
Sepuluh tahun setelah perceraian, misalnya, anak-anak mungkin hanya akan memiliki sedikit ingatan mengenai luka mereka saat orangtua bercerai.
Walau demikian, kira-kira sepertiga dari anak-anak terus mengekspresikan kemarahan karena tidak bisa tumbuh dalam sebuah keluarga utuh yang tidak bercerai.
Ini terjadi pada Asti, yang pada bagian sebelumnya, namanya sudah disebut. Ia, di masa-masa awal perceraian orangtuanya, sempat merasakan kemarahan yang tidak terarah.
Ungkapan-ungkapan seperti “Kenapa keluarga saya?”, “Kenapa saya tidak memiliki keluarga utuh?”, atau “Mungkin hidup saya lebih baik kalau keluarga saya utuh” benar-benar muncul.
Pada Ani, perkembangan pribadinya tetap baik karena ia dibesarkan oleh seorang ibu yang kerap menanamkan nilai-nilai agama padanya.
Juga, ia dikelilingi oleh lingkungan yang hangat, baik dari kerabat dekat maupun teman-teman.
Namun, ini tidak terjadi pada Laura. Orangtuanya bercerai ketika ia masih bayi; berusia sekitar 10-11 bulanan—menurut ingatannya.
Karena tidak ada ingatan apa pun tentang fase perceraian orangtuanya, Laura tidak mengalami depresi atau sejenisnya. Ditambah, hubungan ibu dan bapaknya pasca-perceraian cenderung baik.
Laura diasuh keluarga ibu dari bayi hingga lulus SD. Awal SMP sampai dewasa, ia diasuh bapak. Jadi, atmosfer yang dibangun memang tenang, sehingga membuat proses kembang-tumbuh Laura sangat baik.
Perceraian jelas menyeret pula anak-anak ke dalam masalah.
Namun, dengan pendampingan yang tepat, anak-anak dari keluarga yang bercerai bisa jadi lebih minim konflik dibanding anak-anak dari keluarga yang utuh.
Kuncinya sederhana. Jangan pernah sekalipun mencetuskan kata-kata yang membuat anak seolah menjadi penyebab perceraian, atau menjadikan anak sebagai tempat tumpahan kekesalan terhadap mantan pasangan.
Apalagi, sampai ada kasus perebutan anak atau ketidakjelasan waktu pertemuan anak dengan ibu atau ayahnya.
Singkatnya, “Orangtua yang bercerai harus membuat satu kesempatan untuk bicara dari hati ke hati dengan anak untuk menjelaskan apa yang terjadi, sampai sejelas-jelasnya,” tutup Vera.