Postingan sejak 9 Juni 2015 sebetulnya adalah persiapan roket DARE Cansat V7 yang menjadi kegiatan ekstrakulikuler mahasiswa.
Pada 3 Februari 2017, Dwi mengabarkan tengah mengerjakan proyek satelit pesanan Airbus (AirSat-ABX).
24 Februari ia kembali mengunggah telah diwawancara oleh TV Nasional Belanda NOS terkait Spacecraft technology.
Lalu, 15 Juni 2017 ia memposting id card sebagai Direktur Teknik ESA.
“Saya tidak pernah menempuh studi maupun memiliki gelar akademik berkaitan dengan kedirgantaraan (Aerospace Engineering). Riset saya saat Master di TU Delft memang beririsan dengan sebuah sistem satelit, tapi lebih pada bagian telemetrinya,” kata Dwi.
Saat ini, TU Delft tengah melakukan sidang kode etik sejak 25 September 2017.
Dwi sebenarnya pernah diperingatkan oleh teman-temannya yang menempuh studi di TU Delft namun tak diindahkan.
Sebuah laporan 33 halaman pun disusun oleh rekan-rekan Dwi di Delft.
Deden Rukmana, Professor and Coordinator of Urban Studies and Planning di Savannah State University.lantas menulis surat terbuka berdasarkan laporan tersebut.
“Saya menilai mereka sebagai pihak yang mengetahui kebohongan publik yang dilakukan oleh Dwi Hartanto dan menginginkan agar kebohongan ini dihentikan. Mereka sudah menemui Dwi Hartanto dan memintanya agar meluruskan segala kebohongannya tetapi tidak ditanggapi dengan serius. Mereka pun mencari cara-cara lainnya untuk menghentikan kebohongan ini. Salah satunya adalah menghubungi saya dan mereka pun memberikan ijin kepada saya untuk menggunakan kedua dokumen,” kata Dede dalam surat terbukanya berjudul “Surat Terbuka tentang Ilmuwan Indonesia” yang diperoleh Kompas.com.
Menurut Dede, kebohongan Dwi merusak nama baik ilmuwan.
Tanpa integritas dan kode etik tinggi, ilmu pengetahuan niscaya tak akan berkembang.
“Bilamana kebohongan ini berlanjut dan Dwi Hartanto diberikan posisi di bidang Aerospace Engineering yang bukan merupakan keahliannya, tentunya akan sangat membahayakan keselamatan jiwa banyak orang,” kata Dede.
Dede pun memberikan saran kepada pemerintah agar peristiwa serupa tak lagi terjadi.
Ia mengusulkan agar Kedutaan besar Indonesia di berbagai negara membuat data terkait keberadaan ilmuwan asal Indonesia.
Data itu dirasa penting. Salah satunya dapat digunakan pleh wartawan untuk mengonfirmasi apa yang tengah dikerjakan seorang ilmuwan di negeri orang.
Pendataan ini sudah dilakukan KBRI Washington DC, memuat data ilmuwan Indonesia di negeri Paman Sam. Anda dapat menjumpainya di laman http://education.embassyofindonesia.org/indonesia-facultie…/
Meski demikian, sikap Dwi tak bisa di-gebyah uyah kepada ilmuwan Indonesia.
Masih banyak ilmuwan yang berintegritas, terus meneliti di tengah minimnya data riset yang dikucurkan pemerintah.
(Lutfy Mairizal Putra)
Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul “Dwi Hartanto, "The Next Habibie", Akhiri Kebohongan Besarnya”.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR