Dwi justru memanipulasi template cek hadiah, menuliskan namanya, membubuhkan nominal hadiah sebesar 15.000 euro.
Lalu, ia berfoto dengan cek tersebut dan mengunggahnya ke media sosial.
Foto itu sebetulnya diambil di gedung Space Businees Inovation Center di Noordjijk, Belanda, saat Dwi mengikuti hackathon Space Apps Challenge.
Dalam lomba itu, Dwi dan timnya juga tidak berhasil naik podium.
“Foto itu saya publikasikan melalui media sosial saya dengan cerita klaim kemenangan saya. Teknologi ‘Lethal weapon in the sky’ dan klaim paten tidak benar dan tidak pernah ada. Informasi saya dan tim sedang mengembangkan pesawat tempur generasi ke-6 tidaklah benar. Informasi bahwa saya dan tim dimininta untuk mengembangkan EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG adalah tidak benar,” kata Dwi.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Dwi disebut dihubungi oleh protokoler B.J Habibie.
Pertemuan antara Habibie dan Dwi berlangsung di salah satu restoran di Den Haag pada awal Desember 2016.
Pertemuan itu justru tidak pernah terjadi. Dwi memang pernah meminta kepada Kedutaan Besar RI di Den Haag untuk bertemu dengan Habibie.
“Tidak benar bahwa program master (S2) saya dibiayai oleh pemerintah Belanda. Kuliah S2 saya di TU Delft dibiayai oleh beasiswa yang dikeluarkan oleh Depkominfo. Tidak benar bahwa Belanda menawarkan saya untuk mengganti kewarganegaraan,” kata Dwi.
Dwi memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan kebohongannya.
Melalui Facebook, ia mengungagah persiapan dan peluncuran TARAV7s yang tak pernah ada.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR