Advertorial
Intisari-online.com -Pagi itu gerimis, anak-anak tampak berkumpul di aula sekolah.
Musik dengan irama ceria mengalun merdu, anak-anak mulai menggerakkan tubuhnya mengikuti gerakan guru. Rupanya hari itu adalah jadwal untuk senam otak alias brain gym untuk siswa-siswi ABK.
Namun karena musik dan gerakan ceria, tampaknya anak-anak lain turut ingin merasakan keseruannya. Intisari yang sedang mendokumentasikan momen ini juga turut merasakan kegembiraan anak-anak itu.
(Baca juga:Memperlakukan Anak Berkebutuhan Khusus Laiknya Anak Biasa dengan Pendidikan Inklusif)
Selesai brain gym, anak-anak mengucapkan terima kasih dan menyalami guru. Salah seorang anak mendekat pada Intisari yang saat itu masih sibuk memotret. Ia tidak bisa melepaskan pandangan pada kamera. Kelihatannya kamera sangat menarik perhatiannya.
“Kita masuk ke kelas dulu ya, nanti baru lihat kamera,” kata salah seorang guru mengajaknya masuk kelas.
Saat mereka menjauh pun, Fattan, nama anak itu, masih terus memandangi kamera.
Fattan, siswa kelas dua ini, ternyata adalah salah satu ABK dengan autisme. Ia merupakan satu dari 30 ABK yang memperoleh pendidikan di Lazuardi Cordova Global Islamic School (GIS), Jakarta Barat.
Seringkali yang menjadi beban berat bagi orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah memilih jalan pendidikan anak.
Sebab ABK selalu membutuhkan perlakuan,perhatian, dan kasih sayang yang spesial.
Pilihannya ada dua, menyekolahkan anak tersebut di sekolah luar biasa atau sekolah umum biasa.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) tahun 2017 menyebutkan bahwa ada 1,6 juta ABK di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sekitar 115 ribu ABK bersekolah di SLB dan 299 ribu anak sekolah di sekolah reguler pelaksana sekolah inklusi. Sisanya tidak menempuh pendidikan sama sekali. Dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi sekolah untuk ABK sangat rendah.
(Baca juga:Miliki Anak Berkebutuhan Khusus? Cobalah Ajak Dia Ikuti Olahraga Panahan)
Kenyataan ini memang dipengaruhi oleh kurangnya sarana dan prasarana pendidikan inklusi maupun sekolah luar biasa (SLB) di Indonesia. Ditambah lagi keengganan keluarga menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus.
Tapi pemikiran ini perlu diubah, sebab semua anak layak menerima pendidikan yang sama tanpa diskriminasi. Dan tentu saja hal ini mesti didukung oleh lembaga pendidikan terbuka untuk menerima anak-anak spesial tersebut.
Terlepas dari program pemerintah itu, selain SLB, kini sudah banyak sekolah-sekolah yang menerima ABK. Salah satunya, Sekolah Lazuardi Cordova GIS tadi. Sekolah ini sudah meluluskan lima angkatan siswa reguler dan termasuk pula ABK.
Direktur sekolah, Nadia Jasmine, menyebutkan bahwa ia yang juga orangtua dari ABK sangat mengerti betapa tidak mudahnya mencari sekolah untuk anak spesial. Hal ini juga yang memantapkan niatnya ketika mendirikan sekolah inklusi.
Tujuannya adalah agar ABK juga menerima hak yang sama seperti anak-anak pada umumnya.
“Pembauran ini bisa menjadi sarana stimulus bagi ABK,” kata Eer Herawati, koordinator guru pendamping khusus di Sekolah Lazuardi Cordova.
Anak autisme misalnya, saat dibaurkan dengan teman-temannya ia bisa menyadari bahwa ia tidak hidup sendirian. Ia juga harus belajar dan bermain bersama teman temannya.
Pada orangtua siswa memang sudah diinformasikan terlebih dahulu, bahwa sekolah ini adalah sekolah inklusi sehingga orangtua juga bisa memberi pemahaman pada anaknya bahwa di sekolah, mereka akan bertemu dengan teman-temannya yang sedikit berbeda.
(Baca juga:Mahasiswa Gunadarma 'Bully' Penyandang Autisme: Pelaku Perlu Baca Cerita Pria Autis yang Luar Biasa Ini)
Faktanya di lapangan, sebut Eer, siswa-siswa reguler juga sangat baik dalam memperlakukan teman-temannya yang ABK. Tingkat empati anak-anak juga meningkat ketika belajar dan bermain bersama temannya yang spesial itu.
“Yang kami syukuri adalah siswa reguler justru ngemong teman-temannya yang spesial itu,” tutur Eer lagi.
Hal ini tentu bisa melegakan bagi kebanyakan orangtua dari ABK yang khawatir anaknya di-bully jika disekolahkan di sekolah inklusi.
Khusus untuk pelajaran, orangtua juga tidak perlu khawatir. Di sekolah inklusi, sekolah memang memiliki kurikulum pelajaran yang dijadikan acuan dalam pendidikan. ABK juga turut serta dalam kurikulum yang ditetapkan oleh sekolah.
Hanya saja, karena keterbatasan mereka dibuatlah program individual (individual education programme) untuk mendukung perkembangan mereka secara khusus.
Semoga program pendidikan inklusi ini dapat berkembang lebih lagi demi pelayanan pendidikan yang layak untuk ABK.