Advertorial

Soal Ocehan Tere Liye tentang Pajak Penulis yang Dianggap Tinggi, Ini Tanggapan Menkeu Sri Mulyani

Moh Habib Asyhad

Editor

Tere Liye, yang punya nama asli Darwis itu, memutuskan putus kontrak dengan penerbit buku-bukunya. Ia keberatan dengan pungutan pajak yang dianggapnya terlalu tinggi.
Tere Liye, yang punya nama asli Darwis itu, memutuskan putus kontrak dengan penerbit buku-bukunya. Ia keberatan dengan pungutan pajak yang dianggapnya terlalu tinggi.

Intisari-Online.com --Persoalan pajak penulis sejatinya adalah isu lama, tapi belakangan ini kembali mencuat gara-gara status penulis Tere Liye di media sosial.

Dalam tulisannya itu, laki-laki yang punya nama asli Darwis itu memutuskan putus kontrak dengan penerbit buku-bukunya. Ia keberatan dengan pungutan pajak yang dianggapnya terlalu tinggi.

(Baca juga:Soal Utang Indonesia, Sri Mulyani: Tak Perlu Takut Utang, Harta Kita Banyak)

“Keputusan ini kami ambil mengingat tidak-adilnya perlakuan pajak kepada profesi penulis. Dan tidak pedulinya pemerintah sekarang menanggapi kasus ini,” tulis Darwis di dinding Facebook.

Soal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani langsung buka suara—juga melalui media sosial Facebook.

Bagi profesi penulis, tulis Sri Mulyani, penghitungan normanya adalah 50 persen dari penghasilannya sebagai penulis (baik royalti maupun honorarium lainnya)—dengan anggapan bahwa biaya untuk menghasilkan buku bagi seorang penulis sebesar 50 persen dari penghasilannya.

Untuk lebih jelasnya, berikut tanggapan Sri Mulyani tentang keluhan Darwis:

"Tentang Tere Liye"

Bagi saya, buku adalah sahabat sejati. Dia menemani saya dimana saja dan kapan saja tanpa pernah protes - saat di mobil, waktu antri di dokter gigi, ketika hendak menikmati "me time" juga menjelang tidur. Membaca buku selalu mampu membawa saya pada dunia lain dan bahkan kadang mampu memberikan perspektif lain mengenai hidup dan kehidupan.

Buku yang bagus tidak ditulis begitu saja. Ada ide, imajinasi yang harus dikombinasikan dengan riset, data, survey bahkan kunjungan lapangan yang kemudian dirangkai dalam kata menjadi cerita dan pesan.

Ada jerih payah tidak mudah (keringat, airmata atau bahkan darah) yang nyata dibalik terbitnya suatu buku, juga biaya yang sering tidak sedikit. Meski penulis yang memiliki passion menulis pasti juga menikmati proses menulis itu sendiri.

Oleh karena itu, saya terhenyak ketika membaca berita bahwa seorang Tere Liye akan berhenti menerbitkan buku karena masalah perpajakan. Tere Liye menyatakan frustrasinya menghadapi "kebijakan perpajakan" dan "perlakukan aparat atau kantor pajak" terhadap kewajiban membayar pajak penghasilannya sebagai penulis.

(Baca juga:Punya Tunggakan Pajak Kendaraan? Jangan Lewatkan Program Penghapusan Denda Sampai 31 Agustus 2017 Ini)

Hal ini menyangkut perlakukan perpajakan atas royalti yang diterima dari buku-buku yang ditulis Tere Liye.

Kebijakan perpajakan di negara kita diatur oleh Undang-Undang (UU) yang kemudian diturunkan oleh Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan atau Peraturan Dirjen Pajak.

Ada bagian kebijakan yang ditetapkan oleh UU yang tidak bisa diubah serta merta oleh Dirjen, Menteri atau bahkan Presiden seperti masalah tarif pajak penghasilan (PPh) dan penjenjangan tarif (progresivitas) PPh perorangan.

Namun ada juga kebijakan yang dapat diubah lebih cepat dan dalam kewenangan Menteri dan Dirjen Pajak misalnya penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi WP orang pribadi, setelah dikonsultasikan dengan DPR dan besaran norma penghitungan penghasilan neto bagi WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto kurang dari 4,8 M rupiah setahun (yang tidak menyelenggarakan pembukuan).

Kebijakan pajak yang baik adalah kebijakan yang menjalankan prinsip : keadilan dan persamaan perlakuan antara wajib pajak (equity), kepastian bagi wajib pajak, tidak kompleks bagi WP untuk membayar dan memenuhi aturannya, netral (tidak menimbulkan disinsentif dan distorsi pelaku), keamanan informasi terjamin dll.

Untuk memenuhi kebijakan pajak yang ideal dan baik di atas tidak mudah. Pemerintah sering dihadapkan pilihan-pilihan misalnya antara konsistensi, keadilan, dan persamaan perlakukan antara pelaku pajak versus tujuan pemihakan atau afirmatif.

Pemerintah terus berupaya agar kebijakan pajak dapat memenuhi berbagai harapan masyarakat dan pelaku ekonomi, yaitu: adil dan konsisten, simpel dan mudah dijalankan, efektif dan tetap mampu merespons kebutuhan-kebutuhan tertentu dari kelompok masyarakat, profesi, kegiatan usaha yang berbeda-beda.

Ketika seorang Tere Liye mengharapkan agar dalam penghitungan pajaknya dapat memperhitungkan upaya jerih payah dan biaya yang dikeluarkan selama proses penulisan, Kementerian Keuangan dan DJP telah mengakomodasi dengan kebijakan bahwa biaya tersebut dapat dikurangkan melalui penggunaan norma.

Norma adalah suatu kemudahan yang diberikan kepada Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan.

Keluhan Tere Liye bahwa ada biaya dalam pembuatan sebuah buku, sudah tercermin melalui tersedianya mekanisme norma penghitungan bagi penulis.

(Baca juga:Penulis Buku Kama Sutra: Urusi Dulu Sesuatu yang Paling Dasar di Dalam Dirimu, yaitu Seks!)

Tere Liye memahami kebijakan ini karena dia adalah penulis yang sangat paham mengenai seluk beluk perpajakan. Bangga saya punya teman alumni FEUI yang tidak hanya pintar substansi ekonomi dan perpajakan tetapi juga piawai serta indah dalam menulis cerita.

Bagi profesi penulis, penghitungan normanya adalah 50 persen dari penghasilannya sebagai penulis (baik royalti maupun honorarium lainnya)

Maksudnya, biaya untuk menghasilkan buku bagi seorang penulis dianggap sebesar 50 persen dari penghasilannya.

Artinya, setelah dihitung total penghasilan yg diperoleh oleh penulis selama satu tahun pajak dikalikan dengan 50% sehingga diperoleh penghasilan netto.

Sama dengan Wajib Pajak lain, dari penghasilan netto ini dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehingga diperoleh penghasilan kena pajak.

Kemudian, dari penghasilan kena pajak dihitung pajak penghasilan terutang menggunakan tarif pajak progresif sesuai dengan lapisan penghasilan.

Sementara itu, pajak penghasilan yang sudah dipungut oleh penerbit atas royalti dapat dijadikan sebagai kredit pajak yg akan menjadi pengurang pajak penghasilan yang terutang.

Diharapkan kebijakan ini dapat memberikan keleluasaan dan keadilan bagi profesi penulis untuk dapat terus berkarya.

Bila dalam pelaksanaannya di lapangan, masih terdapat adanya ketidaksamaan pendapat dan ketidakpastian perlakuan- seperti yang dikeluhkan Tere Liye- maka saya sudah meminta kawan-kawan di Ditjen Pajak untuk menyamakan kembali pemahaman tersebut, meninjau "Standard Operating Procedure" dalam penanganan masalah-masalah seperti ini - termasuk peranan kepala kantor yang lebih tanggap dan efektif - agar tidak membuat Wajib Pajak frustrasi. Ini adalah bagian dari reformasi yang sedang kami jalankan di DJP.

Saya yakin sepenuhnya bahwa dengan adanya komunikasi dan organisasi yang baik, sebuah kebijakan akan dapat terlaksana dengan lebih sempurna. Dan ini semua perlu terus didukung dan diawasi agar kami makin mampu menjadi organisasi yang dipercaya oleh masyarakat dan diandalkan oleh negara dan bangsa.

Kami menyadari bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi. Oleh karena itu, kami menerima dengan baik berbagai masukan dari berbagai kelompok profesi yang memiliki berbagai karakteristik yang ingin mendapat perhatian dan pemahaman Pemerintah.

Tugas kami adalah mendengar, memahami, dan merespons untuk perbaikan seluruh negeri dan masyarakat Indonesia.

Kami di Kementerian Keuangan senantiasa berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi negeri ini dengan tetap menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme. Saya tentu berharap penulis seperti Tere Liye tidak menganggap bahwa seluruh jajaran pajak adalah identik dengan Gayus.

Persepsi ini sungguh melukai mereka yang jujur dan memiliki komitmen dan integritas tinggi dalam menjalankan tugas konstitusi mengumpulkan penerimaan negara.

(Baca juga:Wajib Pajak Dikenai Sanksi Rp100.000 Jika Telat Laporkan SPT Pajak Tahunan)

Saya yakin banyak pegawai pajak yang memiliki hati yang baik dan komitmen kerja yang tinggi dan profesional seperti "Bujang" dalam buku Tere Liye "Pulang" - atau seperti "Sri Ningsih dan Zaman" dalam bukunya "Tentang Kamu".

Kita semua warga negara Indonesia dalam posisi di manapun dan peran apapun memiliki kewajiban membangun dan membesarkan Indonesia.

Mari kita melakukan perjuangan membangun dan melanjutkan perjalanan estafet dari para pendiri bangsa untuk membangun Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Salam literasi dan keadilan untuk Indonesia .

Jakarta, 11 September 2017

Sri Mulyani Indrawati

Semoga penjelasan panjang Sri Mulyani ini bisa menjawab polemik soak pajak penulis yang diangap tinggi itu.

Artikel Terkait